Welcome Cukai
Knalpot
oleh Ahmad Safrudin - KPBB
Salam lestari.
Pada 2017 Transportasi Jalan Raya menghabiskan
63,1 juta KL BBM (33,9 juta KL Bensin dan 29,26 KL Solar)[1]
atau setara mengotori atmofer dengan 173 juta tonCO2e dan berpotensi menjadi
470 juta tonCO2e (Business As Usual/BAU) pada 2030 atau 16.66% dari total Gas
Rumah Kaca (GRK) nasional[2]. Selain menghasilkan emisi besar yang akan
menggagalkan komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement 2015 dalam menurunkan
emisi GRK sebesar 29% pada 2030, keadaan ini juga menjadi beban anggaran
pemerintah dalam penyediaan BBM yang sedemikian besar apalagi dengan kemampuan
Pertamina yang semakin menurun dalam memasok kebutuhan BBM. Untuk itu, langkah konkrit dalam
konservasi/efisiensi energy sektor transportasi melalui Cukai Carbon mendesak
dilaksanakan.
Saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI 19 Februari
2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan rencana pengendalian
asap knalpot kendaraan bermotor yang dampaknya sangat membahayakan kesehatan
masyarakat melalui pencemaran udara di sekitar; selain berdampak pada perubahan
iklim global (climate change) melalui emisi GRK. Rencana pengendalian asap knalpot ini
menggunakan instrument fiscal berupa
Cukai Emisi, di mana pemilik kendaraan bermotor sebagai pencemar diwajibkan
membayar untuk mengatasi dampak pencemaran emisi yang keluar dari knalpot
kedaraannya (polluter pay principle; salah satu prinsip pembangunan
berkelanjutan yang disepakati pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro).
Sementara itu, Cukai
Emisi (Carbon) adalah usulan pengendalian emisi yang kami usung sejak
2010 dalam rangka mengendalikan emisi knalpot kendaraan bermotor ini. Cukai Carbon diberlakukan dengan cara
pengenaan Cukai terhadap kendaraan yang tidak mampu memenuhi Standard Carbon[3]
atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) Standard. Sebaliknya kendaraan yang memenuhi Standard Carbon
akan diberi incentive tunai yang
diambil dari dana Cukai Carbon yang terkumpul dan dipungut dari kendaraan yang
tidak memenuhi standard; yang dalam terminologi fiskal disebut sebagai Feebate/Rebate
Tax Scheme. Dengan demikian,
kendaraan yang emisi Carbonnya lebih rendah maka harga pembeliannya menjadi
lebih murah dan tentu menjadi lebih diminati masyarakat.
Konsumsi BBM untuk
transportasi memiliki trend yang terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi kendaraan. Fakta menunjukkan bahwa hal ini berdampak
pada peningkatan emisi CO2 dan penyusutan ketersediaan energy (energy stock depletion) serta menjadi
beban APBN termasuk menjadi kontributor utama pada defisit neraca perdagangan (current
account deficit) yang akhirnya mengganggu sistem moneter nasional. Mendesak dilakukan adopsi langkah dan kebijakan
konservasi/efisiensi konsumsi BBM sektor transportasi yang mampu diserap oleh
industri melalui internalisasi dampak lingkungan.
Langkah dan kebijakan
yang dimaksud harus terintegrasi dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang
sejalan pencapaian target NDC (National Determine Contribution) yaitu komitmen
nasional untuk menurunkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) sesuai Paris Agreement
2015 guna menurunkan GRK pada 2030; dalam konteks ini untuk sektor
transportasi. Langkah ini sejalan
dengan penerapan mandat PP 41/2013 (diperbaharui dengan PP 73/2019) untuk
penerapan LCEV atau kendaraan beremisi Carbon rendah. Juga sejalan dengan penerapan mandat Perpres
22/2017 (Rencana Umum Energi Nasional) yang
mengamanatkan untuk penerapan fuel
economy standard selambat-lambatnya mulai 2020 dengan tujuan mencapai
efisiensi/konservasi energi untuk sektor transportasi. Pun langkah-langkah ini juga dipertegas dengan
Perpres 55/2019 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Battery. Upaya
penurunan emisi Carbon kendaraan bermotor ini dapat dipercepat dengan regulasi percepatan energy conservation/efficiency yang diberlakukan
dengan penerapan standard konsumsi BBM pada kendaraan (Fuel Economy Standard)
atau dengan penetapan Standard Carbon kendaraan (LCEV Standard).
Sejalan dengan itu, kebijakan
pendukung juga perlu diterapkan secara paralel dalam rangka konservasi
energi/mitigasi CO2 yaitu adopsi
kendaraan listrik, Scrapped Car
(pembatasan usia kendaraan), LEV (Low Emission
Vehicle atau penetapan standard emisi pencemaran udara dari kendaraan), CNG
(pemanfaatan BBG untuk transportasi), Shifting to mass public transportation
(mendorong beralihnya masyarakat dari penggunaan kendaraan bermotor pribadi
baik mobil maupun sepeda motor ke angkutan umum masal), dan Bio-fuel (konversi
pemanfaatan BBN/Bahan Bakar Nabati).
Penerapan Fuel
Economy Standard dengan roadmap 20 Km/L pada 2020 dan 28 Km/L pada 2025 akan
mampu memberikan economic benefit (manfaat
ekonomi) pada 2030 sebesar Rp 4.444 T[4] selain mampu menurunkan
emisi 280 MtonCO2e atau 59% of BAU
(business as usual; yaitu situasi tidak melakukan upaya apapun dalam memitigasi
CO2) atau setara dengan penghematan dana Rp 677 trilliun per tahun pada 2030
berkat penghematan Bensin 59.86 juta KL/tahun dan Solar 56 juta KL/tahun.
Penerapan Fuel
Economy Standard 20 Km/L pada 2020 ini setara dengan penetapan Standard Carbon
118 grCO2/Km. Fuel Economy Standard 20 Km/L artinya didorong dikembangkannya
teknologi kendaraan bermotor yang mampu berjalan sejauh 20 Km hanya dengan
menggunakan 1 L BBM. Seiring dengan
semakin banyaknya populasi kendaraan bermotor di satu sisi dan potensi
ditemukannya inovasi kendaraan yang lebih hemat energy, diharapkan Fuel Economy
Standard ini diperketat pada 2025 menjadi 28 Km/L atau setara dengan emisi 85 grCO2/Km.
Apakah teknologi yang
mampu menjalankan fuel economy standard dan atau Standard Carbon tersebut telah
tersedia? Jawabnya adalah sudah. Kendaraan yang mampu mencapai fuel economy
standard 28 Km/L atau Carbon Standard 85 grCO2/Km adalah kendaraan bermotor
listrik (Electric Vehicle; baik Hybrid Electric Vehicle, Plug-in Electric
Vehicle, Battery Electric Vehicle, maupun Trolley Electric Vehicle). Sementara kendaraan ICE (ignitation combustion engine) mampu mencapai fuel economy standard
20 Km/L atau setara Standard Carbon 118 grCO2/Km[5].
Rekomendasi:
1. Guna akselerasi penerapan LCEV maka Roadmap Standard Carbon Kendaraan Bermotor mendesak untuk ditetapkan dengan melibatkan
stakeholder terkait.
2. Sejalan dengan itu maka perlu
dilakukan: (a). Reformulasi Regulasi
PPnBM kendaraan bermotor sehingga regulasi ini nantinya hanya dikaitkan dengan
tingkat kemewahan kendaraan dan tidak perlu lagi dicampur-adukkan dengan
ketentuan pembatasan emisi Carbon sebagaimana kerancuan isi regulasi pada PP No
73/2019. (b). Percepatan penerapan
fuel economy standard/pengendalian emisi CO2 dengan instrument incentive/disincentive fiscal melalui
Cukai Carbon terhadap setiap grCO2/km (skema excise feebate/rebate). Fiscal incentive untuk kendaraan kategori LCEV ini diambil dari cukai
yang dikenakan terhadap kelebihan setiap grCO2/km dari kendaraan yang tak mampu
memenuhi Carbon Standard. Kendaraan dengan level Carbon grCO2/km lebih
rendah dari standard akan memperoleh insentif tunai; begitu sebaliknya kendaraan
dengan level Carbon grCO2/km lebih tinggi dari standard akan dikenakan
disinsentif atau denda. Sehingga kendaraan dengan level CO2 terendah akan menjadi
kendaraan dengan harga termurah (the most cheapest vehicle) tanpa harus
menurunkan kualitas teknologi dan safety level kendaraan (down sizing).
Hal ini akan menarik minat
masyarakat yaitu kendaraan murah dan hemat bahan bakar. (c). Untuk menjaga competitive
advantage of domestic product of LCEV, maka level grCO2/km dihitung dengan
mempertimbangkan LCA (Life Cycle Analysis) melalui perhitungan level Carbon kendaraan
dengan memasukkan total CO2 dari faktor delivery process atau proses pengangkutan
kendaraan dari negara asal apabila kendaraan tersebut merupakan barang
import. Sehingga memungkinkan kendaraan
produksi domestic memiliki level Carbon yang lebih rendah. (d). Melaksanakan Fuel
Economy Labelling sebagai transitional intervention; agar masyarakat
memperoleh informasi yang memadai terkait level konsumsi energy/BBM dan atau
level Carbon kendaraan yang ada di pasar sehingga memudahkan masyarakat untuk
menetapkan pilihannya pada kendaraan murah, rendah emisi dan irit energinya.
Jakarta,
28 Februari 2020
Contact:
·
Ahmad
Safrudin, 0816 897959
·
Alfred
Sitorus, 0852 8023 0536
[1] KL adalah singkatan dari Kilo Liter.
[2] Strategi Penurunan Emisi CO2 Sektor Transportasi,
KPBB, Revisi, 2019
[3] KPBB, ibid
[4] Fuel Economy and Fuel Quality Initiative in Indonesia,
MOE/USEPA/ENEP/KPBB, Revision, 2015
[5] GAIKINDO, processed by KPBB on Fuel Economy Standard,
2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar