Selasa, 03 Maret 2020


Welcome Cukai Knalpot

oleh Ahmad Safrudin - KPBB

Salam lestari.  

Pada 2017 Transportasi Jalan Raya menghabiskan 63,1 juta KL BBM (33,9 juta KL Bensin dan 29,26 KL Solar)[1] atau setara mengotori atmofer dengan 173 juta tonCO2e dan berpotensi menjadi 470 juta tonCO2e (Business As Usual/BAU) pada 2030 atau 16.66% dari total Gas Rumah Kaca (GRK) nasional[2].  Selain menghasilkan emisi besar yang akan menggagalkan komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement 2015 dalam menurunkan emisi GRK sebesar 29% pada 2030, keadaan ini juga menjadi beban anggaran pemerintah dalam penyediaan BBM yang sedemikian besar apalagi dengan kemampuan Pertamina yang semakin menurun dalam memasok kebutuhan BBM.  Untuk itu, langkah konkrit dalam konservasi/efisiensi energy sektor transportasi melalui Cukai Carbon mendesak dilaksanakan.
 

Saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI 19 Februari 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan rencana pengendalian asap knalpot kendaraan bermotor yang dampaknya sangat membahayakan kesehatan masyarakat melalui pencemaran udara di sekitar; selain berdampak pada perubahan iklim global (climate change) melalui emisi GRK.  Rencana pengendalian asap knalpot ini menggunakan instrument fiscal berupa Cukai Emisi, di mana pemilik kendaraan bermotor sebagai pencemar diwajibkan membayar untuk mengatasi dampak pencemaran emisi yang keluar dari knalpot kedaraannya (polluter pay principle; salah satu prinsip pembangunan berkelanjutan yang disepakati pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro).

Sementara itu, Cukai  Emisi (Carbon) adalah usulan pengendalian emisi yang kami usung sejak 2010 dalam rangka mengendalikan emisi knalpot kendaraan bermotor ini.  Cukai Carbon diberlakukan dengan cara pengenaan Cukai terhadap kendaraan yang tidak mampu memenuhi Standard Carbon[3] atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) Standard.  Sebaliknya kendaraan yang memenuhi Standard Carbon akan diberi incentive tunai yang diambil dari dana Cukai Carbon yang terkumpul dan dipungut dari kendaraan yang tidak memenuhi standard; yang dalam terminologi fiskal disebut sebagai Feebate/Rebate Tax Scheme.  Dengan demikian, kendaraan yang emisi Carbonnya lebih rendah maka harga pembeliannya menjadi lebih murah dan tentu menjadi lebih diminati masyarakat.

Konsumsi BBM untuk transportasi memiliki trend yang terus meningkat seiring  dengan peningkatan populasi kendaraan.  Fakta menunjukkan bahwa hal ini berdampak pada peningkatan emisi CO2 dan penyusutan ketersediaan energy (energy stock depletion) serta menjadi beban APBN termasuk menjadi kontributor utama pada defisit neraca perdagangan (current account deficit) yang akhirnya mengganggu sistem moneter nasional.  Mendesak dilakukan adopsi langkah dan kebijakan konservasi/efisiensi konsumsi BBM sektor transportasi yang mampu diserap oleh industri melalui internalisasi dampak lingkungan.

Langkah dan kebijakan yang dimaksud harus terintegrasi dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang sejalan pencapaian target NDC (National Determine Contribution) yaitu komitmen nasional untuk menurunkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) sesuai Paris Agreement 2015 guna menurunkan GRK pada 2030; dalam konteks ini untuk sektor transportasi.  Langkah ini sejalan dengan penerapan mandat PP 41/2013 (diperbaharui dengan PP 73/2019) untuk penerapan LCEV atau kendaraan beremisi Carbon rendah.  Juga sejalan dengan penerapan mandat Perpres 22/2017 (Rencana  Umum Energi Nasional) yang mengamanatkan untuk penerapan fuel economy standard selambat-lambatnya mulai 2020 dengan tujuan mencapai efisiensi/konservasi energi untuk sektor transportasi.  Pun langkah-langkah ini juga dipertegas dengan Perpres 55/2019 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Battery.  Upaya penurunan emisi Carbon kendaraan bermotor ini dapat dipercepat dengan regulasi percepatan energy conservation/efficiency yang diberlakukan dengan penerapan standard konsumsi BBM pada kendaraan (Fuel Economy Standard) atau dengan penetapan Standard Carbon kendaraan (LCEV Standard). 
Sejalan dengan itu, kebijakan pendukung juga perlu diterapkan secara paralel dalam rangka konservasi energi/mitigasi CO2 yaitu adopsi kendaraan listrik,  Scrapped Car (pembatasan usia kendaraan), LEV (Low  Emission Vehicle atau penetapan standard emisi pencemaran udara dari kendaraan), CNG (pemanfaatan BBG untuk transportasi), Shifting to mass public transportation (mendorong beralihnya masyarakat dari penggunaan kendaraan bermotor pribadi baik mobil maupun sepeda motor ke angkutan umum masal), dan Bio-fuel (konversi pemanfaatan BBN/Bahan Bakar Nabati).

Penerapan Fuel Economy Standard dengan roadmap 20 Km/L pada 2020 dan 28 Km/L pada 2025 akan mampu memberikan economic benefit (manfaat ekonomi) pada 2030 sebesar Rp 4.444 T[4] selain mampu menurunkan emisi 280 MtonCO2e atau 59% of BAU (business as usual; yaitu situasi tidak melakukan upaya apapun dalam memitigasi CO2) atau setara dengan penghematan dana Rp 677 trilliun per tahun pada 2030 berkat penghematan Bensin 59.86 juta KL/tahun dan Solar 56 juta KL/tahun.  
Penerapan Fuel Economy Standard 20 Km/L pada 2020 ini setara dengan penetapan Standard Carbon 118 grCO2/Km. Fuel Economy Standard 20 Km/L artinya didorong dikembangkannya teknologi kendaraan bermotor yang mampu berjalan sejauh 20 Km hanya dengan menggunakan 1 L BBM.   Seiring dengan semakin banyaknya populasi kendaraan bermotor di satu sisi dan potensi ditemukannya inovasi kendaraan yang lebih hemat energy, diharapkan Fuel Economy Standard ini diperketat pada 2025 menjadi 28 Km/L atau setara dengan emisi  85 grCO2/Km.

Apakah teknologi yang mampu menjalankan fuel economy standard dan atau Standard Carbon tersebut telah tersedia?  Jawabnya adalah sudah.  Kendaraan yang mampu mencapai fuel economy standard 28 Km/L atau Carbon Standard 85 grCO2/Km adalah kendaraan bermotor listrik (Electric Vehicle; baik Hybrid Electric Vehicle, Plug-in Electric Vehicle, Battery Electric Vehicle, maupun Trolley Electric Vehicle).  Sementara kendaraan ICE (ignitation combustion engine) mampu mencapai fuel economy standard 20 Km/L atau setara Standard Carbon 118 grCO2/Km[5].

Rekomendasi:
1.    Guna akselerasi penerapan LCEV maka Roadmap Standard Carbon Kendaraan Bermotor mendesak untuk ditetapkan dengan melibatkan stakeholder terkait.  
2.    Sejalan dengan itu maka perlu dilakukan:  (a).  Reformulasi Regulasi PPnBM kendaraan bermotor sehingga regulasi ini nantinya hanya dikaitkan dengan tingkat kemewahan kendaraan dan tidak perlu lagi dicampur-adukkan dengan ketentuan pembatasan emisi Carbon sebagaimana kerancuan isi regulasi pada PP No 73/2019.  (b).  Percepatan penerapan fuel economy standard/pengendalian emisi CO2 dengan instrument  incentive/disincentive fiscal melalui Cukai Carbon terhadap setiap grCO2/km (skema excise feebate/rebate). Fiscal incentive untuk kendaraan kategori LCEV ini diambil dari cukai yang dikenakan terhadap kelebihan setiap grCO2/km dari kendaraan yang tak mampu memenuhi Carbon Standard.  Kendaraan dengan level Carbon grCO2/km lebih rendah dari standard akan memperoleh insentif tunai; begitu sebaliknya kendaraan dengan level Carbon grCO2/km lebih tinggi dari standard akan dikenakan disinsentif atau denda. Sehingga kendaraan dengan level CO2 terendah akan menjadi kendaraan dengan harga termurah (the most cheapest vehicle) tanpa harus menurunkan kualitas teknologi dan safety level kendaraan (down sizing).  Hal ini akan menarik minat masyarakat yaitu kendaraan murah dan hemat bahan bakar.  (c).  Untuk menjaga competitive advantage of domestic product of LCEV, maka level grCO2/km dihitung dengan mempertimbangkan LCA (Life Cycle Analysis) melalui perhitungan level Carbon kendaraan dengan memasukkan total CO2 dari faktor delivery process atau proses pengangkutan kendaraan dari negara asal apabila kendaraan tersebut merupakan barang import.  Sehingga memungkinkan kendaraan produksi domestic memiliki level Carbon yang lebih rendah.  (d).  Melaksanakan Fuel Economy Labelling sebagai transitional intervention; agar masyarakat memperoleh informasi yang memadai terkait level konsumsi energy/BBM dan atau level Carbon kendaraan yang ada di pasar sehingga memudahkan masyarakat untuk menetapkan pilihannya pada kendaraan murah, rendah emisi dan irit energinya.

Jakarta, 28 Februari 2020
Contact:
·         Ahmad Safrudin, 0816 897959
·         Alfred Sitorus, 0852 8023 0536



[1] KL adalah singkatan dari Kilo Liter.
[2] Strategi Penurunan Emisi CO2 Sektor Transportasi, KPBB, Revisi, 2019
[3] KPBB, ibid
[4] Fuel Economy and Fuel Quality Initiative in Indonesia, MOE/USEPA/ENEP/KPBB, Revision, 2015
[5] GAIKINDO, processed by KPBB on Fuel Economy Standard, 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar