Minggu, 24 Januari 2010

Air pollution at alarming level in Indonesia

Air pollution at alarming level in Indonesia

http://news.xinhuanet.com/english/2009-11/11/content_12435014.htm


JAKARTA, Nov. 11 (Xinhua) -- Activists have warned that air pollution in Indonesian cities has reached alarming levels, a local media reported here Wednesday.

They said that the case was mainly caused by poor transportation management.
A group of activists and government officials from the State Ministry for the Environment and the Transportation Ministry established a Forum for Indonesian Clean Air as part of its mission to push for sustainable transportation management to minimize air pollution.
"The air quality has frequently been dangerously unhealthy. The country needs extra efforts to clean the air through sustainable transport management," Ahmad Safruddin, who initiated the forum quoted by the Jakarta Post as saying.
He said that poor quality of fuels, gas emissions and poor law enforcement were exacerbating the country's transport system problems.
Ahmad added that all air pollutant parameters exceeded tolerable limits set by environmental authorities.
Motor vehicles are a major source of air pollutants in Indonesia's major cities.
Deputy assistant for pollution emissions control at the State Ministry for the Environment, Ade Palguna, concurred and said air pollution in big cities had reached critical levels.
He said his office also faced difficulties with a limited number of air quality monitoring devices outside the big cities.

Redesain Kota Langkah Adaptasi


Redesain Kota Langkah Adaptasi
Jumat, 30 Mei 2008 | 03:00 WIB
YUNI IKAWATI
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/30/01312260/redesain.kota.langkah.adaptasi##

Pemerintah kota pantai hendaknya mulai melakukan perencanaan mendesain atau menata ulang kawasannya sebagai langkah adaptasi menghadapi perubahan iklim akibat pemanasan global. Masyarakat kota pantai juga perlu kembali pada kearifan lokal dalam membangun rumahnya yang berwawasan lingkungan dan sekaligus hemat energi.
Hal ini disampaikan Ahmad Safrudin, pegiat lingkungan hidup, dalam jumpa pers berkaitan dengan Konferensi Nasional The Jakarta Initiative to Fight Climate Change, yang akan diadakan di Jakarta Jumat (30/5).
Menurut Ahmad, masyarakat Indonesia sebenarnya telah memiliki model rumah tradisional yang cocok untuk iklim tropis, misalnya memiliki jendela yang lebar dan berkisi serta atapnya berbentuk kerucut sehingga pada siang hari tidak memerlukan pendingin ruangan dan lampu penerangan.
Sedangkan dari sisi materialnya, ia menyarankan rumah hunian hendaknya menggunakan bambu. Selain mudah didapat karena bisa dipanen dalam waktu dua tahun, bambu juga mudah tumbuh di berbagai tempat. Rumah berdinding bambu juga berfungsi sebagai ventilasi yang baik. Selain itu, karena elastis dan ringan, rumah bambu tergolong tahan terhadap guncangan gempa.
Langkah adaptasi yang perlu diambil masyarakat adalah membiasakan diri hemat energi dan menggunakan sumber yang ramah lingkungan di berbagai kesempatan.
Sementara itu, dalam menghadapi perubahan iklim, Ahmad, yang juga mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, berharap pemerintah kota juga berorientasi pada rumah ramah lingkungan dan menjaga kawasan konservasi tidak berubah fungsi. Sekarang di kota-kota besar justru terjadi praktik konversi lahan oleh pengusaha properti yang rakus tanah.
Di perkotaan juga perlu segera diterapkan kebijakan mengontrol emisi di sektor industri. ”Penegakan hukum harus konsisten dilakukan pihak berwenang agar semua pihak tetap memenuhi baku mutu emisi gas buang, yang berdampak pada akumulasi polusi gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global,” urainya.
Gas-gas rumah kaca seperti CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS, SF6 telah meningkat secara dramatis. Gas CO2, misalnya, sebagai salah satu emisi rumah kaca menunjukkan jumlah di atmosfer telah meningkat secara drastis dalam beberapa dekade terakhir.
Penyebabnya tiada lain adalah tingginya penggunaan bahan bakar fosil, seperti pemakaian bahan bakar minyak pada kendaraan bermotor, pembangkit listrik dan kegiatan industri. Jumlah yang sedemikian besar telah menempatkan CO2 sebagai gas yang paling berperan dalam mendorong terjadi pemanasan global.
Dampak pemanasan global telah kita rasakan, seperti terjadi fenomena El Nino (kekeringan yang luar biasa) dan La Nina (kebasahan di atas normal) yang semakin sering. Peristiwa ini menyebabkan berbagai bencana, seperti kebakaran hutan, sawah puso, kesulitan air bersih, atau sebaliknya, banjir bandang, badai, dan krisis air bersih, serta kecenderungan pasang naik pada permukaan laut.
Penurunan emisi
Menurut Ahmad, meskipun Indonesia bukan termasuk kategori negara yang diwajibkan menyusun agenda pengurangan emisi gas rumah kaca, bukan berarti tidak harus melakukan apa pun dalam kerangka menekan emisi rumah kaca. Hal itu mengingat proses pembangunan dan industrialisasi di negeri ini menyumbang cukup besar emisi rumah kaca, termasuk sektor transportasi.
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia yang telah melampaui 29 juta unit, dan ke depan diprediksi terus meningkat 8-14 persen per tahun, jelas akan terus mendongkrak emisi CO>sub<2>res<>res<. Juga pengelolaan sampah yang masih berorientasi kumpul, angkut, buang (open dumping) berpotensi menyumbangkan gas rumah kaca berupa gas metan (CH4) yang bersifat lebih merusak dari CO2
Untuk itu, para pihak di Indonesia, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, harus menekan emisi rumah kaca sebagai partisipasi Indonesia dalam memperlambat dampak perubahan iklim global, sekaligus melakukan upaya adaptasi agar risiko bencana perubahan iklim yang merugikan semua dapat dikurangi.
Dalam hal ini perlu dibangun kerja sama dalam melaksanakan adaptasi terhadap risiko bencana perubahan iklim dan mitigasi sebagaimana diuraikan pada the Bali Roadmap toward Protecting the Climate yang disepakati pada UNFCCC, Desember 2007 di Bali.
”Pemerintah kota-kota di Indonesia dan stakeholder terkait perlu menjalin kemitraan dalam menyusun rencana aksi yang terukur sehingga risiko perubahan iklim dapat diturunkan dan diantisipasi. Paling lambat tahun 2010 hendaknya sudah ada langkah nyata yang dilakukan,” tegas Ahmad.
Tahun 2012 adalah batas waktu kesepakatan agenda penurunan emisi gas rumah kaca yang mencakup upaya adaptasi atau mitigasi yang terukur dan dapat diverifikasi, termasuk persentase penurunan emisi gas rumah kaca pada tahun 2020-2040, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pendanaan untuk upaya mitigasi atau adaptasi di negara sedang berkembang.
Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007 hanya menghasilkan konsensus berupa Bali Roadmap toward Protecting the Climate.
Konsensus itu mengenai kesepakatan delegasi negara peserta untuk bertemu lagi dan bernegosiasi dalam pertemuan lanjutan untuk membuat kesepakatan penurunan emisi gas rumah kaca dengan batas waktu tahun 2012.

Developed countries urged to keep their pledge

Developed countries urged to keep their pledge

The Jakarta Post , Jakarta | Thu, 11/26/2009 1:30 PM | National

http://www.thejakartapost.com/news/2009/11/26/developed-countries-urged-keep-their-pledge.html

Environmental NGOs urge developed countries to give up their plans to provide financial assistance to developing countries as part of an effort to mitigate impacts of climate change while reducing their own emissions cuts commitments.

Coordinator of the Civil Society Forum (CSF), Giorgio Budi, said Tuesday the planned aid program to motivate developing countries to reduce emissions was not a good idea in mitigating the impacts of global warming.

"Developed countries should not withdraw from commitments to cut their own emissions," he told The Jakarta Post over the phone.

"This would go against any progress achieved at the Copenhagen climate talks in December," he added.

Through the clean development mechanism (CDM), developed countries are allowed to offset their carbon emissions by financing clean projects in developing countries.

Separately, chairman of the Joint Committee for Leaded Gasoline Phaseout (KPBB), Ahmad Safrudin, said financial assistance for developing countries would not be any use if developed countries were not committed to reducing their own emissions, leaving developing countries to bear the brunt of global warming.

"Such financial assistance would only make developing countries *emissions toilets' for developed countries," he told a discussion held by the Clean Air Forum.

President Susilo Bambang Yu-dhoyono has pledged to voluntarily cut Indonesia's carbon emissions by 26 percent by 2020 using the state budget, despite a report by the World Bank and Britain's development arm naming Indonesia the world's third-largest carbon polluter after the US and China.

The report, released in 2007, said Indonesia's emitted 3 billion tons of carbon dioxide per year, after the US, the world's top emitter with 6 billion tons and China with 5 billion tons.

Yudhoyono further said Indonesia could slash its emissions by up to 41 percent from the energy, waste and forestry sectors should rich nations provide financial assistance.

Rich nations have demanded that developing countries, especially Brazil, China, India and Indonesia, agree to binding emission cuts.

Developing countries have rejected the calls, arguing that industrial countries have produced the majority of harmful emissions in recent decades and should bear the cost of fixing the problem.

Alternatively, Ahmad said, developed countries were encouraged to transfer environmentally friendly technology to developing countries to reduce vehicle emissions.

"Indonesia has not widely utilized such technology, as the government does not provide incentives for environmentally-friendly hybrid cars," he said.

Motor vehicles accounted for 40 percent of global CO2 emissions. Vehicle exhaust emissions account for 70 percent of air pollution in Jakarta, the world's eighth most polluted city

The Industry Ministry's director general for transportation, telecommunications and informatics industries, Budi Darmadi, said recently the government planned to provide incentives to carmakers to produce environmentally friendly vehicles by 2012.

"The incentives are still being discussed. We are determining the criteria for the technical and performance aspects of the low-cost *green cars'," he said.

In Indonesia, hybrid cars with price tags above Rp 500 million (US$52,770) cater to limited markets, as opposed to popular minivan cars which are priced between Rp 100 million and Rp 200 million. (nia)