Kamis, 28 Agustus 2014

Inkonstitusional Penetapan Harga BBM "Bersubsidi"


Kebijakan Harga BBM ”Bersubsidi”: 
Presiden Bertindak Inkonstitusional

Berapa harga pokok produksi BBM “Bersubsidi”?  Benarkah harga BBM di Negara kita paling murah di dunia?  Mengapa jika demikian masyarakat di Malaysia dapat menikmati Bensin RON 95 hanya dengan RM 2,1 ~ Rp 7.350/L, yaitu Bensin sekelas Pertamax Plus yang di sini dipasarkan dengan harga di atas Rp 13.000/L?  Atau masyarakat Vietnam yang hanya membayar dengan harga Rp 11.250?  Pertanyaan ini selalu muncul ketika Negara gonjang-ganjing menghadapi terjadinya kelangkaan BBM di berbagai daerah, sehingga menjadi dalih Pemerintah untuk menaikkan harga BBM.  Hal ini tidak akan terjadi jika Pemerintah taat azas dengan menerapkan kebijakan penetapan harga BBM sesuai dengan yang diamanatkan oleh Konstitusi yaitu UUD 1945 terutama Pasal 33, di mana harga BBM harus ditetapkan menurut HPP (harga pokok penjualan) dan bukan menurut harga pasar. 
Untuk itu, sebagai pihak yang memiliki visi mendorong diterapkannya fairness price with appropriate quality of fuel (BBM), perlu menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.    Bahwa tindakan Presiden RI, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi RI, Menteri Keuangan RI, Menteri ESDM RI dalam penetapan harga BBM bersubsidi yang masih mengacu pada harga pasar (Harga Internasional) –berdasarkan PP No. 36 tahun 2004 pasal 2, yang berbunyi bahwa ”Kegiatan usaha Hilir dilaksanakan oleh badan usaha yang telah memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”– adalah inkonstitusional yang mengarah pada tindakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003, tertanggal 21 Desember 2004, yang pada pokoknya telah mencabut ketentuan tentang penetapan harga pasar berdasarkan pasal 28 ayat 3 Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang MIGAS.  Adapun seharusnya penetapan harga BBM dilakukan berdasarkan metode Harga Pokok Penjualan. 
2.  Bahwa tindakan penggunaan harga pasar sebagai acuan penetapan harga BBM Bersubsidi pun menunjukkan tidak adanya transparansi sehingga cenderung menyesatkan dan manipulatif.  Hal ini terlihat dari penggunaan acuan harga rata-rata produk BBM di Pasar Minyak Singapura, MOPS (Mid Oil Platts Singapore) untuk penetapan harga BBM “Bersubsidi” yang kualitasnya tidak equivalent.  Per Juni 2014 misalnya saat harga crude oil dunia pada level US$ 108/BBL, harga rata-rata Bensin menurut di Pasar Minyak Singapura (Mid Oil Platts Singapore – MOPS) adalah Rp 8.754/L, yaitu Bensin dengan kualitas RON 92, kadar Benzene maks 2,5%, kadar Aromatic maks 40%, kadar Olefin maks 20% dan kadar belerang maks 500 ppm atau ringkasnya Bensin ini berkualitas seperti Pertamax.  Tentunya harga Bensin di atas tidak fair (tidak adil) dan un-comparable jika digunakan sebagai patokan penetapan harga Premium yang kualitasnya lebih rendah (RON 88, kadar Benzene 5%, kadar Aromatic 50%, kadar Olefin 35%.
 3.   Berapa harga pokok penjualan (HPP) BBM “Bersubsidi”?  Benarkah harga BBM di Negara kita paling murah di dunia?  Pertanyaan ini perlu kami sampaikan sebagai bentuk gugatan yang telah kami layangkan pada tanggal 20 Mei 2013 atas tidak transparannya penetapan Harga BBM “Bersubsidi”; dengan Nomor Perkara:  No:  242/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Ps. 
Terkesan BBM “Bersubsidi” di negara kita paling murah dibandingkan dengan harga BBM di negara lain.  Namun, sekalipun harga BBM di negara lain relatif lebih mahal tetapi juga dengan kualitas yang lebih tinggi. 
  • Di Amerika Serikat misalnya, harga Bensin dipatok US$ 3.9/USG atau 98 cent/L atau setara dengan Rp 10.750/L, namun pada level harga ini BBM-nya berkualitas Category 4 –untuk meggerakkan kendaraan berstandar Euro 5 –  berdasarkan Standard WWFC (World Wide Fuels Charter), yaitu kualitas BBM yang ditetapkan oleh Asosasi Industri Mobil dan Industri Minyak sedunia.   WWFC menetapkan kualitas BBM dengan Category 1, 2, 3, 4 di mana semakin tinggi angka penanda Category ini maka kualitasnya juga semakin baik.  Sebagai catatan, Pertamax dan Pertamax Plus serta Perta-Dex masuk Category 2 WWFC.
  • Harga Bensin di Malaysia sebesar Rp 7.350/L adalah BBM berkualitas yang sesuai untuk kendaraan berstandar Euro 2, sementara harga di Vietnam sebesar Rp 11.250/L berkualitas yang sesuai untuk kendaraan berstandard Euro 4.  
  • Sementara Premium 88 di negara kita yang dipatok dengan harga Rp 9000/L (Rp 6500 dibayar oleh rakyat dan Rp 2500 dibayar oleh subsidi Pemerintah), kualitasnya tidak masuk Category 1 pun Standard WWFC sebagai tersebut di atas, sehingga tidak memenuhi (comply) untuk menggerakkan kendaraan berstandard Euro 1 pun. 

Perlu kami ingatkan bahwa sejak Era Reformasi 1998, kami menangkap adanya kecenderungan tekanan asing dan neo-liberalisme untuk menurunkan daya saing industri dalam negeri dengan meng-adjust komponen biaya produksi yang jelas-jelas Indonesia memiliki compettive advantage yaitu BBM; mengingat Indonesia memiliki crude oil dan kilang minyak sendiri.
Adalah sangat wajar apabila harga BBM di dalam negeri ditetapkan secara rasional dan realistis, namun agar konstitusional maka penetapan harga harus dilandaskan pada harga pokok penjualan (HPP) dan bukan menggunakan acuan harga pasar.  Apalagi menggunakan harga pasar atas BBM yang kualitasnya berbeda.
Guna menghentikan terulangnya permasalahan BBM dan beban Pemerintah atas “subsidi” BBM pada APBN, maka kini adalah saatnya menciptakan transparansi kebijakan penetapan harga BBM "Bersubsidi".  Untuk itu, kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1.    Pemerintah harus menyampaikan secara terbuka harga pokok penjualan (HPP) atas BBM “Bersubsidi” (Premium 88 dan Solar 48) di Indonesia.
2.      Pemerintah harus menggunakan harga pokok penjualan (HPP) sebagai tersebut pada point 1 sebagai dasar penetapan harga BBM “Bersubsidi”, di mana hal ini sesuai dengan amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) dan UU No 22/2001 tentang MIGAS. 
3.      Dalam tata kelola MIGAS, Pemerintah harus menggunakan peraturan perundangan tentang MIGAS (UU No 22/2001) sebagai dasar penetapan harga BBM “Bersubsidi”  dan bukannya APBN/P yang selama ini menjadi biang kekeliruan dan menyesatkan.

Jakarta, 25 Agustus 2014
Ahmad Safrudin
Direktur Eksekutif KPBB 
Related link:







Kebijakan Harga BBM ”Bersubsidi”: 
Presiden Bertindak Inkonstitusional

Berapa harga pokok produksi BBM “Bersubsidi”?  Benarkah harga BBM di Negara kita paling murah di dunia?  Mengapa jika demikian masyarakat di Malaysia dapat menikmati Bensin RON 95 hanya dengan RM 2,1 ~ Rp 7.350/L, yaitu Bensin sekelas Pertamax Plus yang di sini dipasarkan dengan harga di atas Rp 13.000/L?  Atau masyarakat Vietnam yang hanya membayar dengan harga Rp 11.250?  Pertanyaan ini selalu muncul ketika Negara gonjang-ganjing menghadapi terjadinya kelangkaan BBM di berbagai daerah, sehingga menjadi dalih Pemerintah untuk menaikkan harga BBM.  Hal ini tidak akan terjadi jika Pemerintah taat azas dengan menerapkan kebijakan penetapan harga BBM sesuai dengan yang diamanatkan oleh Konstitusi yaitu UUD 1945 terutama Pasal 33, di mana harga BBM harus ditetapkan menurut HPP (harga pokok penjualan) dan bukan menurut harga pasar. 
Untuk itu, sebagai pihak yang memiliki visi mendorong diterapkannya fairness price with appropriate quality of fuel (BBM), perlu menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.   Bahwa tindakan Presiden RI, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi RI, Menteri Keuangan RI, Menteri ESDM RI dalam penetapan harga BBM bersubsidi yang masih mengacu pada harga pasar (Harga Internasional) –berdasarkan PP No. 36 tahun 2004 pasal 2, yang berbunyi bahwa ”Kegiatan usaha Hilir dilaksanakan oleh badan usaha yang telah memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”– adalah inkonstitusional yang mengarah pada tindakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003, tertanggal 21 Desember 2004, yang pada pokoknya telah mencabut ketentuan tentang penetapan harga pasar berdasarkan pasal 28 ayat 3 Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang MIGAS.  Adapun seharusnya penetapan harga BBM dilakukan berdasarkan metode Harga Pokok Penjualan. 
 2. Bahwa tindakan penggunaan harga pasar sebagai acuan penetapan harga BBM Bersubsidi pun menunjukkan tidak adanya transparansi sehingga cenderung menyesatkan dan manipulatif.  Hal ini terlihat dari penggunaan acuan harga rata-rata produk BBM di Pasar Minyak Singapura, MOPS (Mid Oil Platts Singapore) untuk penetapan harga BBM “Bersubsidi” yang kualitasnya tidak equivalent.  Per Juni 2014 misalnya saat harga crude oil dunia pada level US$ 108/BBL, harga rata-rata Bensin menurut di Pasar Minyak Singapura (Mid Oil Platts Singapore – MOPS) adalah Rp 8.754/L, yaitu Bensin dengan kualitas RON 92, kadar Benzene maks 2,5%, kadar Aromatic maks 40%, kadar Olefin maks 20% dan kadar belerang maks 500 ppm atau ringkasnya Bensin ini berkualitas seperti Pertamax.  Tentunya harga Bensin di atas tidak fair (tidak adil) dan un-comparable jika digunakan sebagai patokan penetapan harga Premium yang kualitasnya lebih rendah (RON 88, kadar Benzene 5%, kadar Aromatic 50%, kadar Olefin 35%.
 3.   Berapa harga pokok penjualan (HPP) BBM “Bersubsidi”?  Benarkah harga BBM di Negara kita paling murah di dunia?  Pertanyaan ini perlu kami sampaikan sebagai bentuk gugatan yang telah kami layangkan pada tanggal 20 Mei 2013 atas tidak transparannya penetapan Harga BBM “Bersubsidi”; dengan Nomor Perkara:  No:  242/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Ps. 
Terkesan BBM “Bersubsidi” di negara kita paling murah dibandingkan dengan harga BBM di negara lain.  Namun, sekalipun harga BBM di negara lain relatif lebih mahal tetapi juga dengan kualitas yang lebih tinggi. 
  • Di Amerika Serikat misalnya, harga Bensin dipatok US$ 3.9/USG atau 98 cent/L atau setara dengan Rp 10.750/L, namun pada level harga ini BBM-nya berkualitas Category 4 –untuk meggerakkan kendaraan berstandar Euro 5 –  berdasarkan Standard WWFC (World Wide Fuels Charter), yaitu kualitas BBM yang ditetapkan oleh Asosasi Industri Mobil dan Industri Minyak sedunia.   WWFC menetapkan kualitas BBM dengan Category 1, 2, 3, 4 di mana semakin tinggi angka penanda Category ini maka kualitasnya juga semakin baik.  Sebagai catatan, Pertamax dan Pertamax Plus serta Perta-Dex masuk Category 2 WWFC.
  • Harga Bensin di Malaysia sebesar Rp 7.350/L adalah BBM berkualitas yang sesuai untuk kendaraan berstandar Euro 2, sementara harga di Vietnam sebesar Rp 11.250/L berkualitas yang sesuai untuk kendaraan berstandard Euro 4.
  • Sementara Premium 88 di negara kita yang dipatok dengan harga Rp 9000/L (Rp 6500 dibayar oleh rakyat dan Rp 2500 dibayar oleh subsidi Pemerintah), kualitasnya tidak masuk Category 1 pun Standard WWFC sebagai tersebut di atas, sehingga tidak memenuhi (comply) untuk menggerakkan kendaraan berstandard Euro 1 pun. 
Perlu kami ingatkan bahwa sejak Era Reformasi 1998, kami menangkap adanya kecenderungan tekanan asing dan neo-liberalisme untuk menurunkan daya saing industri dalam negeri dengan meng-adjust komponen biaya produksi yang jelas-jelas Indonesia memiliki compettive advantage yaitu BBM; mengingat Indonesia memiliki crude oil dan kilang minyak sendiri.
Adalah sangat wajar apabila harga BBM di dalam negeri ditetapkan secara rasional dan realistis, namun agar konstitusional maka penetapan harga harus dilandaskan pada harga pokok penjualan (HPP) dan bukan menggunakan acuan harga pasar.  Apalagi menggunakan harga pasar atas BBM yang kualitasnya berbeda.
Guna menghentikan terulangnya permasalahan BBM dan beban Pemerintah atas “subsidi” BBM pada APBN, maka kini adalah saatnya menciptakan transparansi kebijakan penetapan harga BBM "Bersubsidi".  Untuk itu, kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Pemerintah harus menyampaikan secara terbuka harga pokok penjualan (HPP) atas BBM “Bersubsidi (Premium 88 dan Solar 48) di Indonesia.
2.      Pemerintah harus menggunakan harga pokok penjualan (HPP) sebagai tersebut pada point 1 sebagai dasar penetapan harga BBM “Bersubsidi”, di mana hal ini sesuai dengan amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) dan UU No 22/2001 tentang MIGAS. 
3.      Dalam tata kelola MIGAS, Pemerintah harus menggunakan peraturan perundangan tentang MIGAS (UU No 22/2001) sebagai dasar penetapan harga BBM “Bersubsidi”  dan bukannya APBN/P yang selama ini menjadi biang kekeliruan dan menyesatkan.

Jakarta, 25 Agustus 2014
Salam hormat,
Ahmad Safrudin 

Rabu, 28 Mei 2014


Low Sulphur Fuels
*      Clean Air     *      Climate      *      National Economic Growth



Pencemaran udara telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat terutama mereka yang tinggal di kawasan perkotaan dengan kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi.  WHO merelease laporan terbaru bahwa bahwa pada 2012 diestimasikan seperdelapan kematian umat manusia di seluruh dunia atau sekitar 7 juta jiwa per tahun meninggal akibat terpapar pencemaran udara[1].  Dari jumlah itu, 60.000 jiwa terjadi (meninggal) di Indonesia. 

Di Jakarta sendiri 57,8% warganya menderita sakit/penyakit akibat terpapar pencemaran udara[2] (periksa Box 1), sehingga harus membayar biaya berobat mencapai Rp 38,5 Triliun.  Kini, pencemaran udara menjadi resiko tunggal terbesar di dunia yang mengancam kesehatan lingkungan.

______________________________________________________________________________
Dampak Kesehatan Pencemaran Udara Jakarta

57.8% warga Jakarta menderita sakit atau penyakit yang terkait dengan pencemaran udara (2010):
       1,210,581 orang menderita asthmatic bronchiale
       153,724  orang menderita bronchopneumonia dan COPD, Chronicle Obstructive Pulmonary Dieses (penyempitan saluran pernafasan)
       2,449,986 orang menderita ISPA
       336,273 orang menderita pneumonia
       1,246,130 orang menderita coronary artery diseases.
_________________________________________________________________________________

Selain menyebabkan pencemaran udara, tingginya emisi dari berbagai aktivitas manusia juga menyebabkan peningkatan Gas Rumah Kaca terutama CO2, CH4, N2O, O3 yang berdampak pada perubahan temperature global dan mendorong terjadinya pemanasan global (global warming).  Hal ini memicu peningkatan intensitas bencana baik bencana alam (banjir, badai, tanah longsor, peningkatan permukaan air laut dll) maupun penyakit seperti meluasnya kawasan endemic malaria.
Komposisi GHG

Namun demikian, upaya menekan emisi relative banyak menghadapi kendala.  Ketika kita ingin menurunkan emisi, namun aktivitas manusia yang lebih banyak didukung penggunaan bahan bakar fosil menyebakan kendala ini.  Peningkatan kecenderungan masyarakat menggunakan kendaraan bermotor sehingga meningkatkan populasi kendaraan bermotor, peningkatan konsumsi juga telah mendorong peningkatan produktivitas industri yang berdampak negatif pada peningkatan emisi dan pengurasan energi.

Untuk itu, kiranya perlu dirancang upaya mencegah percepatan pengurasan energi ini sebagai langkah strategis dalam upaya menurunkan emisi.  Secara global terdapat gerakan 50 by 50 yang artinya pada tahun 2050 kita harus menurunkan konsumsi BBM menjadi 50% perkapita energi saat ini (tahun dasar 2005).  Hal ini tentunya juga harus diadopsi di Indonesia dengan merancang pemakaian teknologi yang mampu menurunkan konsumsi BBM, termasuk teknologi kendaraan bermotor yang menjadi penyumbang terbesar (sekitar 70-90%) pencemaran udara di perkotaan.  Teknologi kendaraan yang mampu menurunkan konsumsi BBM maka secara otomatis akan menurunkan emisi, baik emisi yang berdampak pada pencemaran udara perkotaan maupun global green house gas.  Low Sulphur Fuel, yaitu penyediaan BBM rendah belerang menjadi prasyarat penting bagi penerapan teknologi kendaraan yang rendah konsumsi BBM-nya.

Langkah ini bisa ditempuh dengan mengadopsi penerapan standar kendaraan Euro 4.  Penerapan standar ini pada 2021, selain mampu menurunkan emisi juga akan mendatangkan Net Economic Benefit hingga Rp 1.970 Triliun berupa health cost, production saving dan fuel subsidy saving  untuk periode 2005 - 2030.  Sementara percepatan penerapan standar Euro 4 mejadi 2016 akan meningkatkan Net Economic Benefit menjadi  Rp 3.973 Triliun (periode yang sama).

Selain itu, tidak dapat dimungkiri bahwa keterlambatan mengadopsi teknologi kendaraan bermotor menurunkan daya saing industri otomotif nasional di pasar regional Asia Tenggara, sebagaimana direbutnya posisi Indonesia sebagai market leader sektor otomotif ini oleh Thailand pada 2002 ketika Indonesia terlambat mengadopsi Standard Euro 2.  Untuk itu, dialog intensif telah dilakukan antar stakeholder yang terkait pada kurun September – Desember 2013 dan disepakati untuk melakukan percepatan penerapan standar kendaraan yang mengacu pada Standar Euro 4 mulai Oktober 2016.

Ringkasan
  • Percepatan penerapan Low Sulphur Fuel dan Euro 4 Vehicle Standard akan meningkatkan economic benefit dan daya saing industri (sektor otomotif dan BBM) di pasar Regional ASEAN.
  • Economic benefit yang diperoleh mencakup penurunan biaya kesehatan, peningkatan production saving dan penurunan beban subsidi BBM (peningkatan efisiensi BBM).
  • Dialog intensif yang melibatkan para pihak terkait sepakat untuk menerapkan Euro 4 Vehicle Standard secara bertahap mulai Oktober 2016.
  • Guna memenuhi spesifikasi BBM untuk percepatan penerapan Euro 4 Vehicle Standard, Kilang Balongan dan Balikpapan feasible untuk dimodifikasi (ppt).

Jakarta, 23 April 2014
Ahmad Safrudin


[1] News release WHO/06, 25 March 2014
[2] CBA Fuel Economy Study, UNEP-USEPA-KLH-KPBB, 2012