Rabu, 28 Mei 2014


Low Sulphur Fuels
*      Clean Air     *      Climate      *      National Economic Growth



Pencemaran udara telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat terutama mereka yang tinggal di kawasan perkotaan dengan kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi.  WHO merelease laporan terbaru bahwa bahwa pada 2012 diestimasikan seperdelapan kematian umat manusia di seluruh dunia atau sekitar 7 juta jiwa per tahun meninggal akibat terpapar pencemaran udara[1].  Dari jumlah itu, 60.000 jiwa terjadi (meninggal) di Indonesia. 

Di Jakarta sendiri 57,8% warganya menderita sakit/penyakit akibat terpapar pencemaran udara[2] (periksa Box 1), sehingga harus membayar biaya berobat mencapai Rp 38,5 Triliun.  Kini, pencemaran udara menjadi resiko tunggal terbesar di dunia yang mengancam kesehatan lingkungan.

______________________________________________________________________________
Dampak Kesehatan Pencemaran Udara Jakarta

57.8% warga Jakarta menderita sakit atau penyakit yang terkait dengan pencemaran udara (2010):
       1,210,581 orang menderita asthmatic bronchiale
       153,724  orang menderita bronchopneumonia dan COPD, Chronicle Obstructive Pulmonary Dieses (penyempitan saluran pernafasan)
       2,449,986 orang menderita ISPA
       336,273 orang menderita pneumonia
       1,246,130 orang menderita coronary artery diseases.
_________________________________________________________________________________

Selain menyebabkan pencemaran udara, tingginya emisi dari berbagai aktivitas manusia juga menyebabkan peningkatan Gas Rumah Kaca terutama CO2, CH4, N2O, O3 yang berdampak pada perubahan temperature global dan mendorong terjadinya pemanasan global (global warming).  Hal ini memicu peningkatan intensitas bencana baik bencana alam (banjir, badai, tanah longsor, peningkatan permukaan air laut dll) maupun penyakit seperti meluasnya kawasan endemic malaria.
Komposisi GHG

Namun demikian, upaya menekan emisi relative banyak menghadapi kendala.  Ketika kita ingin menurunkan emisi, namun aktivitas manusia yang lebih banyak didukung penggunaan bahan bakar fosil menyebakan kendala ini.  Peningkatan kecenderungan masyarakat menggunakan kendaraan bermotor sehingga meningkatkan populasi kendaraan bermotor, peningkatan konsumsi juga telah mendorong peningkatan produktivitas industri yang berdampak negatif pada peningkatan emisi dan pengurasan energi.

Untuk itu, kiranya perlu dirancang upaya mencegah percepatan pengurasan energi ini sebagai langkah strategis dalam upaya menurunkan emisi.  Secara global terdapat gerakan 50 by 50 yang artinya pada tahun 2050 kita harus menurunkan konsumsi BBM menjadi 50% perkapita energi saat ini (tahun dasar 2005).  Hal ini tentunya juga harus diadopsi di Indonesia dengan merancang pemakaian teknologi yang mampu menurunkan konsumsi BBM, termasuk teknologi kendaraan bermotor yang menjadi penyumbang terbesar (sekitar 70-90%) pencemaran udara di perkotaan.  Teknologi kendaraan yang mampu menurunkan konsumsi BBM maka secara otomatis akan menurunkan emisi, baik emisi yang berdampak pada pencemaran udara perkotaan maupun global green house gas.  Low Sulphur Fuel, yaitu penyediaan BBM rendah belerang menjadi prasyarat penting bagi penerapan teknologi kendaraan yang rendah konsumsi BBM-nya.

Langkah ini bisa ditempuh dengan mengadopsi penerapan standar kendaraan Euro 4.  Penerapan standar ini pada 2021, selain mampu menurunkan emisi juga akan mendatangkan Net Economic Benefit hingga Rp 1.970 Triliun berupa health cost, production saving dan fuel subsidy saving  untuk periode 2005 - 2030.  Sementara percepatan penerapan standar Euro 4 mejadi 2016 akan meningkatkan Net Economic Benefit menjadi  Rp 3.973 Triliun (periode yang sama).

Selain itu, tidak dapat dimungkiri bahwa keterlambatan mengadopsi teknologi kendaraan bermotor menurunkan daya saing industri otomotif nasional di pasar regional Asia Tenggara, sebagaimana direbutnya posisi Indonesia sebagai market leader sektor otomotif ini oleh Thailand pada 2002 ketika Indonesia terlambat mengadopsi Standard Euro 2.  Untuk itu, dialog intensif telah dilakukan antar stakeholder yang terkait pada kurun September – Desember 2013 dan disepakati untuk melakukan percepatan penerapan standar kendaraan yang mengacu pada Standar Euro 4 mulai Oktober 2016.

Ringkasan
  • Percepatan penerapan Low Sulphur Fuel dan Euro 4 Vehicle Standard akan meningkatkan economic benefit dan daya saing industri (sektor otomotif dan BBM) di pasar Regional ASEAN.
  • Economic benefit yang diperoleh mencakup penurunan biaya kesehatan, peningkatan production saving dan penurunan beban subsidi BBM (peningkatan efisiensi BBM).
  • Dialog intensif yang melibatkan para pihak terkait sepakat untuk menerapkan Euro 4 Vehicle Standard secara bertahap mulai Oktober 2016.
  • Guna memenuhi spesifikasi BBM untuk percepatan penerapan Euro 4 Vehicle Standard, Kilang Balongan dan Balikpapan feasible untuk dimodifikasi (ppt).

Jakarta, 23 April 2014
Ahmad Safrudin


[1] News release WHO/06, 25 March 2014
[2] CBA Fuel Economy Study, UNEP-USEPA-KLH-KPBB, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar