Mengapa terjadi kegagalan dalam konversi
BBG untuk sector transportasi? Patut
diduga ada sabotase yang dilakukan oleh pejabat yang memegang amanat untuk
menjalankan mandat peraturan perundangan tentang pemanfaatan BBG untuk sector
transportasi. Secara logika, adalah
mudah melakukan konversi BBG sector transportasi ini mengingat Indonesia
termasuk dalam kategori Negara yang memiliki sumber bahan bakar gas yang
terbesar di dunia, di samping berbagai peraturan dan perundangan telah disusun
dan disahkan guna memuluskan implementasi pemanfaatan gas sector
transportasi. Pun berbagai program tepat
guna pernah disusun sejak 1987.
Namun
kemudahan-kemudahan ini tidak mendorong pejabat-pejabat yang terkait
melaksanakan amanat peraturan perundangan, melainkan melakukan pembiaran
sehingga peraturan perundangan tidak berjalan dan berakibat pada kegagalan pemanfaatan/konversi
BBG untuk sector transportasi.
Pejabat-pejabat tersebutlah yang diduga melakukan sabotase di balik konspirasi
menggagalkan perintah peraturan perundangan tentang pemanfaatan BBG untuk
transportasi.
Pada
hal ada 4 (empat) manfaat konversi BBG sector transportasi ini yaitu (1)
Diversifikasi energy, (2) Pengurangan beban Negara atas penyediaan dana
“subsidi BBM”, (3) Menciptakan lapangan kerja baru di bidang pengadaan pasokan
BBG dan perbengkelan kendaraan BBG, (4) Menurunkan pencemaran udara yang
bersumber dari kendaraan bermotor.
Peraturan Perundangan tentang BBG
- UU No 22/2001 tentang MIGAS
- UU No 30/2007 tentang Energi
- UU No 32/2009 tentang PPLH
- Peraturan Presiden No 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
- Instruksi Presiden No 10/2005 tentang Efisiensi Energi
- Keputusan Menteri Energi No 0031/2005 tentang SOP Efisiensi Energi
- Permen ESDM No 19/2010 tentang Pemanfaatan Gas untuk Sektor Transportasi
- Perda No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Pasal 10)
- Peraturan Gubernur No 141/2007 tentang Pemanfaatan Gas untuk Transportasi dan Kendaraan Operasional Pemda
- SK Kepala Dinas Pertambangan Provinsi DKI Jakarta tentang Ketentuan Pembangunan SPBG pada SPBU
- UU No 22/2011 tentang APBN 2012 (Pembatasan BBM Bersubsidi).
- Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.2508/-1.824.132/1993 tanggal 03 Agustus 1993Mengatur tentang kesediaan untuk membangun/memasang dispenser BBG di SPBU. Substansi yang diatur yaitu pembangunan SPBU diharapkan juga membangun dispenser untuk BBG.
- Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 28 tahun 1990 Mengatur tentang penggunaan bahan bakar gas dan elpiji untuk angkutan umum dan taksi
- Keputusan Dinas Perhubungan DKI Jakarta No. 1648/18.11-3219 tanggal 26 Februari 1990 Merupakan tindak lanjut keputusan Gubernur DKI Jakarta mengenai kewajiban penggunaan BBG/Elpiji untuk taksi. Substansi yang diatur/diwajibkan semua perusahaan taksi harus memiliki setidaknya 20% dari total armada menggunakan BBG/Elpiji
- Surat Gubernur DKI Jakarta No. 2605/1.824.133/1994 tanggal 16 Agustus 1994 Memberikan perintah agar setiap pembangunan SPBU harus memprioritaskan fasilitas dispenser BBG.
- Keputusan Menteri Kelestarian Lingkungan Hidup No. 15 tahun 1996 Mengatur mengenai Program Langit Biru atau Blue Sky Program Program penggunaan gas untuk kendaraan bemotor merupakan bagian dari program langit biru.
Para Pejabat, mari bersungguh-sungguh ....
Kebijakan konversi gas untuk transportasi ini memiliki dimensi pada pertumbuhan ekonomi.
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan konversi gas sektor transportasi ini. Kewenangannyalah untuk mengkoordinasikan baik teknis maupun non teknis sehingga konversi ini berjalan efektif sesuai dengan target dan perencanaan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan. Diduga, upaya ini merupakan kesengajaan atau setidak-tidaknya praktik pembiaran sehingga program yang mampu mendatangkan economic benefit hingga Rp 2.124 T (Ref: Cost Benefit Analysis Fuel Economy in Indonesia, UNEP-USEPA-KLH) bagi bangsa Indonesia ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan konversi gas sektor transportasi ini. Kewenangannyalah untuk mengkoordinasikan baik teknis maupun non teknis sehingga konversi ini berjalan efektif sesuai dengan target dan perencanaan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan. Diduga, upaya ini merupakan kesengajaan atau setidak-tidaknya praktik pembiaran sehingga program yang mampu mendatangkan economic benefit hingga Rp 2.124 T (Ref: Cost Benefit Analysis Fuel Economy in Indonesia, UNEP-USEPA-KLH) bagi bangsa Indonesia ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Menteri
ESDM bertanggungjawab atas ketersediaan pasokan bahan bakar secara nasional
termasuk pasokan BBG. Sebagai Negara
penghasil gas terbesar di dunia, adalah tidak sulit bagi Menteri ESDM untuk
memimpin pengadaan demi ketersediaan BBG untuk sector transportasi. Dengan demikian, kegagalan konversi BBG
sector transportasi ini diduga buah
kesengajaan dari Menteri ESDM atau setidak-tidaknya praktik pembiaran sehingga
kekacauan dan un-leading program penyediaan BBG dibiarkan berjalan tidak efektif.
Menteri
Perhubungan
Menteri
Perhubungan bertanggungjawab atas konversi kendaraan – baik berbahan bakar
bensin maupun solar – terutama angkutan umum untuk menggunakan BBG. Faktanya, Menteri ini melakukan kesengajaan dan/atau setidak-tidaknya pembiaran
sehingga berbagai jenis angkutan umum yang mengajukan izin trayek dan/atau
mengajukan perpanjangan izin trayek tidak diarahkan untuk melakukan konversi
BBG sebagai prasyarat.
Menteri
Perindustrian
Menteri
Perindustrian. Menteri ini
bertanggungjawab atas adopsi teknologi kendaraan bermotor yang sesuai dengan
amanat peraturan perundangan. Artinya
ketika ada regulasi konversi BBG untuk sector transportasi maka Menteri
Perindustrian harus menindaklanjutinya dengan menciptakan iklim industry yang
mendorong produsen kendaraan bermotor memproduksi kendaraan BBG. Ketika hal ini tidak terjadi, maka itu adalah
kesengajaan dan atau setidak-tidaknya pembiaran agar industry kendaraan BBG
tidak tumbuh dan tidak memproduksi kendaraan BBG.
Direktur
Utama PT Pertamina (Persero)
Dirut
Pertamina. Dirut Pertamina adalah salah
satu yang bertanggung jawab atas pasokan BBG termasuk untuk sector
transportasi, sejak dari hulu explorasi/exploitasi sumur gas hingga hilir
berupa transmisi pengiriman gas dan distribusi/retail gas. Tidak berkembangnya pasokan BBG sector
transportasi adalah buah dari kesengajaan atau setidak-tidaknya pembiaran oleh
Dirut Pertamina sehingga berakibat pada sulitnya distribusi gas yang dibutuhkan
oleh sector transportasi yang telah dikonversi ke BBG. Pun, penyertaan Pemerintah melalui Pertamina
sebesar Rp 2,6 T pada 2012 untuk pengembangan infrastruktur BBG sector
transportasi di Jakarta, telah membuktikan adanya unsur kesengajaan/pembiaran
yang berdampak pada tidak tersedianya pasokan BBG sector transportasi. Faktanya, SPBG di Jakarta belum bertambah
sehingga menghambat masyarakat yang ingin mengkonversi BBG.
Direktur
Utama PT Perusahaan Gas Negara
Dirut
PGN juga memiliki kemiripan sikap dengan Dirut Pertamina, yaitu tidak
bertanggung jawab atas pasokan BBG untuk sector transportasi terutama di level
distribusi melalui pemipaan dan retail melalui SPBG. Keputusan sepihak berupa menaikkan tool fee
pipa gas PGN menjadi Rp 700,- per LSP dari nilai sebelumnya sebesar Rp 60,- per
LSP telah menyebabkan terganggunya ketersediaan pasokan BBG sector
transportasi. Juga keputusan pengenaan
quota minimal dan quata maksimal atas distribus BBG sector transportasi
menyebabkan kesulitan bagi SPBG dalam melakukan retail untuk sector
transportasi. PGN menganakan penalty
jika BBG yang terserap oleh SPBG di bawah quota minimal dan atau di atas quota maksimal. Tentu saja itu bagian dari konspirasi untuk
menggagalkan konversi BBG sector transportasi.
Gubernur
Provinsi DKI Jakarta
Gubernur
Jokowi memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan UU No 32/2009, UU No 22/2001
berikut peraturan pelaksana di bawahnya termasuk PP No 141/199, SK Gubernur DKI Jakarta No.2508/-1.824.132/1993,
No. 28 tahun 1990, No. 2605/1.824.133/1994 SK Menteri LH No. 15 tahun 1996,
PERDA DKI Jakarta No 2/2005 dan PERGUB DKI Jakarta No. 141/2007. Pelaksanaan peraturan perundangan di atas
adalah jalan menuju diterapkannya konversi BBG sector transportasi secara
efektif dan efisien. Gubernur Jokowi
sengaja tidak menjalankan amanat peraturan perundangan tersebut terbukti dengan
sengaja tidak mengkonversi kendaraan operasional PEMDA untuk menggunakan
BBG. Di samping itu, Gubernur juga
meloloskan permintaan izin trayek baru dan atau perpanjangan izin trayek
meskipun angkutan umum tersebut tidak dikonversi ke BBG. Tentu ini bukan sebuah ketidaksengajaan,
melainkan kesengajaan dan atau setidak-tidaknya pembiaran demi tidak
berjalannya amanat pemanfaatan BBG untuk sector transportasi.
Drama The
Saboteurs
Gubernur
berdalih bahwa pasokan BBG tidak mencukupi, faktanya pasokan BBG untuk
transportasi adalah 35 MMFCSD namun hanya terserap 5 MMFCSD. Gubernur tidak melakukan pentaatan atas
keberadaan SPBU di Jakarta yang menurut ketentuan Gubernur mereka diwajibkan
menyediakan dispenser SPBG. Menteri ESDM
mengatakan telah memberikan quota yang memadai untuk mencukup kebutuhan sector
transportasi, namun faktanya tidak melakukan control terhadap Pertamina, PGN
dan berbagai perusahaan retailer (SPBG) yang tidak menyalurkan gasnya untuk
sector transportasi. Pengusaha SPBG tidak
berani mengembangkan SPBG baru karena demand dari kendaraan bermotor yang
menggunakan BBG belum tumbuh. Demand ini tidak tumbuh karena Menteri
Perhubungan dan Gubernur DKI Jakarta (misalnya) tidak melakukan pentaatan
sehingga angkutan umum dan kendaraan operasional PEMDA DKI Jakarta tidak
dikonversi menggunakan BBG, selain Menteri Perindustrian yang tidak mewajibkan
industri otomotif untuk mengembangkan kendaraan BBG.
Akhirnya
di antara mereka saling lempar tanggung jawab di arena yang tidak saling
bertemu sehingga tidak terjadi klarifikasi yang berujung solusi dan seolah
disengaja mengingat ada agenda besar berupa sabotase untuk menggagalkan pemanfaatan
BBG untuk sector transportasi.
Jakarta,
5 Mei 2014
Manfaat Economi Pemanfaatan Gas untuk Transportasi
Ahmad Safrudin - KPBB
Source: Various Source, processed by KPBB |
Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan konsumsi energi di sektor
transportasi darat di Indonesia mencapai sekitar 5,7% per tahun[1].
Peningkatan kebutuhan ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Pada tahun 2010, hampir semua energi yang
dikonsumsi oleh sektor transportasi darat adalah BBM diikuti oleh Gas dan
Listrik. Dari jenis BBM, konsumsi
Bensin (Premium, Pertamax dan Pertamax Plus) merupakan yang terbesar (61,66%)
diikuti oleh Solar (37,5%) dan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang mencakup Bio-diesel, Bio-ethanol (0,84%)[2]. Sementara untuk BBM bersubsidi (Premium dan Solar), konsumsi Premium
merupakan yang terbesar (61,29%) diikuti oleh Solar (37,85%), sisanya BBN
(0,86%)[3].
Pemanfaatan BBG untuk transportasi telah dimulai pada 1987 dengan total konsumsi
204 KLSP (Kilo-liter setara Premium)[4].
Pada 1996 Pemerintah mencanangkan Program
Langit Biru, dan pada 1998 pemakaian CNG dan LGV
mencapai puncaknya yaitu 55.637 KLSP[5].
Jumlah SPBG nasional pada tahun tersebut sebanyak 30 unit yang tersebar di
Medan, Palembang, Jakarta, Depok, Surabaya dan Denpasar[6].
Namun keberhasilan sebagai akibat dari pencanangan Pemerintah pada 1996 tersebut tidak
dapat berlangsung lama. Beberapa faktor seperti harga BBG, kelangsungan pasokan gas, waktu pengisian yang relatif lama, ketersediaan SPBG, kualitas BBG, jasa inspeksi dan perawatan, ketersediaan suku cadang dan fasilitas Kredit untuk Converter Kit dll., telah menyebabkan
penurunuan permintaan hingga sekitar 4.854 KLSP pada 2007[7]. Di samping faktor-faktor di atas,
ketidak-jelasan leading institution yang
bertanggung-jawab penuh terhadap permasalahan di atas juga sangat berperan
dalam mempengaruhi
efektivitas pemanfaatan gas di sektor transportasi.
Kendaraan yang
Diwajibkan Menggunakan BBG di DKI Jakarta
(Perda No 2/2005)
Peraturan Menteri ESDM No. 19/2010 dan Keputusan Menteri ESDM No.
2932K/12/MEM/2010 diharapkan menjadi jawaban awal terhadap kendala pasokan dan harga yang selama ini menghambat pemanfaatan BBG untuk
transportasi. Kedua kebijakan ini juga
mendukung dan sinergi dengan Peraturan
Gubernur DKI Jakarta No 141/2007 tentang “Pemanfaatan Bahan Bakar Gas untuk
Transportasi” sebagai implementasi dari Perda
No. 2/2005 tentang “Pengendalian Pencemaran Udara.” Dalam Perda No 2/2005
semua angkutan umum dan kendaraan oprasional Pemda DKI Jakarta yang jumlahnya
diperkirakan mendekati angka 100.000 unit
(lihat Tabel) wajib menggunakan
BBG terhitung mulai 25 Oktober 2012.
Saat ini jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) nasional yang
beroperasi sebanyak 21 unit - 16 unit di Jakarta
(masing-masing 8 unit untuk CNG dan LGV), 1 unit di Palembang (CNG) dan 4 unit di Surabaya (CNG). Jika satu unit SPBG mampu menyediakan 20
KLSP/hari (CNG) dan 9 KLSP/hari (LGV), maka SPBG di Jakarta saat ini hanya
mampu memasok gas sebanyak 160 KLSP/hari (CNG) dan 72 KLSP/hari (LGV). Artinya, jumlah SPBG di Jakarta masih belum
mampu melayani permintaan BBG apabila PERGUB No. 141/2007 diterapkan.
Untuk melayani sekitar 100.000 unit kendaraan dengan variasi total konsumsi
per hari mulai dari 10 LSP (Bajaj), 30 LSP (Taksi, Mikrolet dll), 90 LSP (Bus
Sedang) dan 200 LSP (Bus Besar), maka di Jakarta perlu
tersedia pasokan BBG sebanyak 3.778 KLSP/hari yang dilayani melalui 261 unit pengisian
bahan bakar (dispenser). Dengan asumsi operasional kendaraan adalah 320 hari/tahun, dan dengan referensi harga MOPS RON-92, PPN (10%), Pajak BBM (5%)[8], maka subsitusi BBM
oleh BBG sebesar 3.778 KLSP/hari diperkirakan akan mengurangi beban subsidi
sebesar Rp 2,1 triliun/tahun.
Di samping lebih hemat dari sisi biaya dibandingkan dengan BBM, penggunaan
BBG juga dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 20-30%, CO sebesar
70-90%, dan NOx sebesar 75-95%)[9]. Selain itu,
subsitusi BBM oleh BBG juga diharapkan dapat menggulirkan roda
perekonomian nasional melalui penciptaan peluang pengembangan usaha baru yang terkait gas (di bidang produk, jasa teknis dan
keuangan/pembiayaan).
Jakarta, 5 Mei 2014
[1]
Direktorat Jenderal MIGAS, 2010
[2]
Pertamina, 2008 (Diolah)
[3]
Pertamina, Direktorat Jenderal
MIGAS, 2008 (Diolah)
[4]
Pertamina, 2008
[5]
Pertamina, 2008
[6]
Pertamina, 2011
[7]
Pertamina, 2008
[8]
Fiscal Policy Agency – Ministry of
Finance, 2010
[9]
LEMIGAS, Technical Evaluation of LGV
Performance, Report, 2006
Pencemaran Udara di DKI
Jakarta
Pencemaran udara telah
menjadi ancaman serius bagi masyarakat terutama mereka yang tinggal di kawasan
perkotaan dengan kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi. WHO merelease
laporan terbaru bahwa bahwa pada 2012 diestimasikan seperdelapan kematian umat
manusia di seluruh dunia atau sekitar 7 juta jiwa per tahun meninggal akibat
terpapar pencemaran udara[1]. Dari jumlah itu, 60.000 jiwa terjadi
(meninggal) di Indonesia.
Di
Jakarta sendiri 57,8% warganya menderita sakit/penyakit akibat terpapar
pencemaran udara[2]
(periksa Box 1), sehingga harus membayar biaya berobat mencapai Rp 38,5
Triliun. Kini, pencemaran udara menjadi
resiko tunggal terbesar di dunia yang mengancam kesehatan lingkungan.
Selain
menyebabkan pencemaran udara, tingginya emisi dari berbagai aktivitas manusia
juga menyebabkan peningkatan Gas Rumah Kaca terutama CO2, CH4, N2O, O3 yang
berdampak pada perubahan temperature global dan mendorong terjadinya pemanasan
global (global warming). Hal ini memicu peningkatan intensitas bencana
baik bencana alam (banjir, badai, tanah longsor, peningkatan permukaan air laut
dll) maupun penyakit seperti meluasnya kawasan endemic malaria.
Jakarta,
5 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar