Sabtu, 20 Februari 2010

Inilah.Dua.Alternatif.Permudah.Pasokan.BBG

http://megapolitan.kompas.com/read/2010/01/15/19405082/Inilah.Dua.Alternatif.Permudah.Pasokan.BBG

Jumat, 15 Januari 2010 | 19:40 WIB
KOMPAS/RATIH P SUDARSONO
Agus, salah seorang sopir angkot di Bogor, menonton saat teknisi PT Bina Tera Jasindo memasang tabung gas di bagian belakang bawah angkotnya, Kamis (19/11). Ada tujuh angkot siang itu yang menunggu giliran pemasangan converter kit yang memungkinkan angkot menggunakan bahan bakar gas (BBG).
TERKAIT:

JAKARTA, KOMPAS.com — Keterbatasan pasokan bahan bakar gas atau BBG sebenarnya dapat diatasi melalui dua cara, yakni subsidi di hulu dan tidak menggunakan Perusahaan Gas Negara untuk distribusi di Jakarta dan sekitarnya.

Koordinator Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Koalisi Warga untuk Transport Demand Management (TDM), Ahmad Safrudin, di Jakarta, Jumat (15/1/2010), menyatakan, untuk subsidi di hulu, pemerintah lewat Kementerian Keuangan perlu didorong mengeluarkan kebijakan fiskal agar harga eceran bisa mencapai Rp 2.562 dari sebelumnya Rp 3.200.

"Langkahnya yaitu mendorong pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, untuk mengeluarkan kebijakan fiskal sehingga harga bisa diatur. Okelah Rp 2.562 per liter secara premium, tapi PGN tidak rugi. Itu subsidi di hulu," papar Ahmad Safrudin.

Alternatif lain, lanjutnya, adalah tidak menggunakan PGN untuk mendistribusikan gas di Jakarta. Pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyalurkan gas dari Pertamina menggunakan pipa milik PGN.

"Ke PGN hanya perlu membayar fee Rp 60 per liter. Jadi praktis. Hanya dengan Rp 1.700-an per liter secara premium, sudah bisa di SPBG," kata dia lagi.

BBG awalnya dicanangkan oleh pemerintah untuk digunakan bus transjakarta. Pemanfaatan gas untuk transportasi sebenarnya adalah era baru untuk memulai usaha mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak yang kotor dan mahal.

Tingginya kandungan belerang, bahan aromatik, benzene, olefin, berujung pada tingginya emisi yang keluar dari knalpot. "Selain ramah lingkungan, BBG juga lebih murah harganya, efisiensi per liternya lebih tinggi dibanding bensin maupun solar, dan membuat akselerasi mesin lebih stabil," katanya.

Ke PGN hanya perlu bayar fee Rp 60 per liter. Jadi praktis. Hanya dengan Rp 1.700-an sudah bisa di SPBG.
-- Ahmad Safrudin

Pemprov DKI Jakarta Diminta Membuat BUMD Gas

Pemprov DKI Jakarta Diminta Membuat BUMD Gas

JAKARTA - Sejumlah pengamat transportasi perkotaan mengusulkan agar Pemprov DKI Jakarta membuat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) khusus mengelola gas. Solusi ini dicetuskan untuk mengatasi kesulitan pasokan gas yang kerap dialami oleh Pemprov DKI untuk transportasi.

Pengamat transportasi, Darmaningtyas, menyatakan, BUMD ini nantinya akan membantu pemprov untuk mendistribusikan gas. "Sehingga, keperluan gas untuk DKI oleh Perusahaan Gas Negara (PGN) tidak perlu didistribusikan lewat perusahaan gas swasta yang kerap menentukan harga yang mahal," ujarnya.Selain itu, keberadaan BUMD tersebut akan mampu membantu pemprov untuk menerima subsidi harga beli gas yang saat ini sedang diajukan kepada pemerintah pusat. Menurut, Darmaningtyas ide pembuatan BUMD ini sudah disampaikan kepada Pemprov DKI pada Rabu (27/1). "Namun belum ditindaklanjuti," ujarnya.

Terkait masalah subsidi, Darmaningtyas menyatakan, hingga kini pemprov masih mendapati kesulitan untuk mendorong pemerintah pusat guna memberikan subsidi kepada pemprov, sehingga harga beli gas tidak tinggi. Selama ini, gara-gara harga gas tinggi, pemprov kesulitan memenuhi pasokan gas untuk transportasi.

Untuk itu perlu dibuat regulasi yang jelas. "Sekarang ini tidak ada jalan, karena tidak ada rumus yang jelas,"
katanya. Hal ini membuat implementasi Pergub DKI No 141 Tahun 2007 tentang penggunaan bahan bakar gas untuk angkutan umum dan kendaraan operasional pemerintah daerah. "Akibatnya, program Jakarta Langit Biru 2012 bakal sulit direalisasikan," paparnya.

Koordinator Komite Peng-hapusan Bensin Bertimbal (KPPB), Ahmad Safrudin menyatakan, pemanfaatan bahan bakar gas untuk transportasi telah dimulai pada 1987. Usaha sosialisasi semakin gencar setelah dicanangkannya Program Langit Biru pada 1996. Apabila pada 1987 total konsumsi bahan bakar gas untuk transportasi mencapai 204 KLSP (kiloliter setara premium), maka tiga tahun setelahnya, pemakai bahan bakar gas mencapai puncaknya yaitu 55.637 KLSP.

Namun, sekarang kembali terjadi penurunan. Kini pemanfaat bahan bakar gas untuk transportasi hanya sekitar 4.854 KLSP atau 800 kendaraan, meskipun sekitar 3.000 mobil di Jakarta terdaftar menggunakan konverter kit. Penurunan terjadi karena kurangnya pasokan gas untuk transportasi. Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai distributor, hanya mementingkan tawaran harga yang dibayarkan. "Kenyataannya, suplai dilanjutkan apabila harga cocok, yaitu harga industri," katanya.

Menanggapi hal itu, Gubernur DKI, Fauzi Bowo, menyatakan, lobi sudah dilakukan dengan seluruh instansi terkait. "Kami sudah datangi semua menteri yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan tarif gas," katanya. Pemprov DKI pun saat ini tengah berusaha meminta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mengeluarkan kebijakan pengelompokan tarif gas transportasi. Menurut Fauzi, selama ini harga gas untuk transportasi masih dikelompokkan dalam tarif umum. "Saya sudah bicarakan dengan Menteri ESDM, semoga bisa ditindaklanjuti," cetusnya. cO9. ed utomo