Rabu, 28 Mei 2014


Low Sulphur Fuels
*      Clean Air     *      Climate      *      National Economic Growth



Pencemaran udara telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat terutama mereka yang tinggal di kawasan perkotaan dengan kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi.  WHO merelease laporan terbaru bahwa bahwa pada 2012 diestimasikan seperdelapan kematian umat manusia di seluruh dunia atau sekitar 7 juta jiwa per tahun meninggal akibat terpapar pencemaran udara[1].  Dari jumlah itu, 60.000 jiwa terjadi (meninggal) di Indonesia. 

Di Jakarta sendiri 57,8% warganya menderita sakit/penyakit akibat terpapar pencemaran udara[2] (periksa Box 1), sehingga harus membayar biaya berobat mencapai Rp 38,5 Triliun.  Kini, pencemaran udara menjadi resiko tunggal terbesar di dunia yang mengancam kesehatan lingkungan.

______________________________________________________________________________
Dampak Kesehatan Pencemaran Udara Jakarta

57.8% warga Jakarta menderita sakit atau penyakit yang terkait dengan pencemaran udara (2010):
       1,210,581 orang menderita asthmatic bronchiale
       153,724  orang menderita bronchopneumonia dan COPD, Chronicle Obstructive Pulmonary Dieses (penyempitan saluran pernafasan)
       2,449,986 orang menderita ISPA
       336,273 orang menderita pneumonia
       1,246,130 orang menderita coronary artery diseases.
_________________________________________________________________________________

Selain menyebabkan pencemaran udara, tingginya emisi dari berbagai aktivitas manusia juga menyebabkan peningkatan Gas Rumah Kaca terutama CO2, CH4, N2O, O3 yang berdampak pada perubahan temperature global dan mendorong terjadinya pemanasan global (global warming).  Hal ini memicu peningkatan intensitas bencana baik bencana alam (banjir, badai, tanah longsor, peningkatan permukaan air laut dll) maupun penyakit seperti meluasnya kawasan endemic malaria.
Komposisi GHG

Namun demikian, upaya menekan emisi relative banyak menghadapi kendala.  Ketika kita ingin menurunkan emisi, namun aktivitas manusia yang lebih banyak didukung penggunaan bahan bakar fosil menyebakan kendala ini.  Peningkatan kecenderungan masyarakat menggunakan kendaraan bermotor sehingga meningkatkan populasi kendaraan bermotor, peningkatan konsumsi juga telah mendorong peningkatan produktivitas industri yang berdampak negatif pada peningkatan emisi dan pengurasan energi.

Untuk itu, kiranya perlu dirancang upaya mencegah percepatan pengurasan energi ini sebagai langkah strategis dalam upaya menurunkan emisi.  Secara global terdapat gerakan 50 by 50 yang artinya pada tahun 2050 kita harus menurunkan konsumsi BBM menjadi 50% perkapita energi saat ini (tahun dasar 2005).  Hal ini tentunya juga harus diadopsi di Indonesia dengan merancang pemakaian teknologi yang mampu menurunkan konsumsi BBM, termasuk teknologi kendaraan bermotor yang menjadi penyumbang terbesar (sekitar 70-90%) pencemaran udara di perkotaan.  Teknologi kendaraan yang mampu menurunkan konsumsi BBM maka secara otomatis akan menurunkan emisi, baik emisi yang berdampak pada pencemaran udara perkotaan maupun global green house gas.  Low Sulphur Fuel, yaitu penyediaan BBM rendah belerang menjadi prasyarat penting bagi penerapan teknologi kendaraan yang rendah konsumsi BBM-nya.

Langkah ini bisa ditempuh dengan mengadopsi penerapan standar kendaraan Euro 4.  Penerapan standar ini pada 2021, selain mampu menurunkan emisi juga akan mendatangkan Net Economic Benefit hingga Rp 1.970 Triliun berupa health cost, production saving dan fuel subsidy saving  untuk periode 2005 - 2030.  Sementara percepatan penerapan standar Euro 4 mejadi 2016 akan meningkatkan Net Economic Benefit menjadi  Rp 3.973 Triliun (periode yang sama).

Selain itu, tidak dapat dimungkiri bahwa keterlambatan mengadopsi teknologi kendaraan bermotor menurunkan daya saing industri otomotif nasional di pasar regional Asia Tenggara, sebagaimana direbutnya posisi Indonesia sebagai market leader sektor otomotif ini oleh Thailand pada 2002 ketika Indonesia terlambat mengadopsi Standard Euro 2.  Untuk itu, dialog intensif telah dilakukan antar stakeholder yang terkait pada kurun September – Desember 2013 dan disepakati untuk melakukan percepatan penerapan standar kendaraan yang mengacu pada Standar Euro 4 mulai Oktober 2016.

Ringkasan
  • Percepatan penerapan Low Sulphur Fuel dan Euro 4 Vehicle Standard akan meningkatkan economic benefit dan daya saing industri (sektor otomotif dan BBM) di pasar Regional ASEAN.
  • Economic benefit yang diperoleh mencakup penurunan biaya kesehatan, peningkatan production saving dan penurunan beban subsidi BBM (peningkatan efisiensi BBM).
  • Dialog intensif yang melibatkan para pihak terkait sepakat untuk menerapkan Euro 4 Vehicle Standard secara bertahap mulai Oktober 2016.
  • Guna memenuhi spesifikasi BBM untuk percepatan penerapan Euro 4 Vehicle Standard, Kilang Balongan dan Balikpapan feasible untuk dimodifikasi (ppt).

Jakarta, 23 April 2014
Ahmad Safrudin


[1] News release WHO/06, 25 March 2014
[2] CBA Fuel Economy Study, UNEP-USEPA-KLH-KPBB, 2012

Jumat, 23 Mei 2014

Mengapa terjadi kegagalan dalam konversi BBG untuk sector transportasi?  Patut diduga ada sabotase yang dilakukan oleh pejabat yang memegang amanat untuk menjalankan mandat peraturan perundangan tentang pemanfaatan BBG untuk sector transportasi.   Secara logika, adalah mudah melakukan konversi BBG sector transportasi ini mengingat Indonesia termasuk dalam kategori Negara yang memiliki sumber bahan bakar gas yang terbesar di dunia, di samping berbagai peraturan dan perundangan telah disusun dan disahkan guna memuluskan implementasi pemanfaatan gas sector transportasi.  Pun berbagai program tepat guna pernah disusun sejak 1987. 

Namun kemudahan-kemudahan ini tidak mendorong pejabat-pejabat yang terkait melaksanakan amanat peraturan perundangan, melainkan melakukan pembiaran sehingga peraturan perundangan tidak berjalan dan berakibat pada kegagalan pemanfaatan/konversi BBG untuk sector transportasi.  Pejabat-pejabat tersebutlah yang diduga melakukan sabotase di balik konspirasi menggagalkan perintah peraturan perundangan tentang pemanfaatan BBG untuk transportasi. 

Pada hal ada 4 (empat) manfaat konversi BBG sector transportasi ini yaitu (1) Diversifikasi energy, (2) Pengurangan beban Negara atas penyediaan dana “subsidi BBM”, (3) Menciptakan lapangan kerja baru di bidang pengadaan pasokan BBG dan perbengkelan kendaraan BBG, (4) Menurunkan pencemaran udara yang bersumber dari kendaraan bermotor.

Peraturan Perundangan tentang BBG
  1. UU  No 22/2001 tentang MIGAS 
  2. UU No 30/2007 tentang Energi
  3. UU No 32/2009 tentang PPLH
  4. Peraturan Presiden No 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
  5. Instruksi Presiden No 10/2005 tentang Efisiensi Energi
  6. Keputusan Menteri Energi No 0031/2005 tentang SOP Efisiensi Energi
  7. Permen ESDM No 19/2010 tentang Pemanfaatan Gas untuk Sektor Transportasi
  8. Perda No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Pasal 10)
  9. Peraturan Gubernur No 141/2007 tentang Pemanfaatan Gas untuk Transportasi dan Kendaraan Operasional Pemda
  10. SK Kepala Dinas Pertambangan Provinsi DKI Jakarta tentang Ketentuan Pembangunan SPBG pada SPBU
  11. UU No 22/2011 tentang APBN 2012 (Pembatasan BBM Bersubsidi).
  12. Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.2508/-1.824.132/1993 tanggal 03 Agustus 1993Mengatur tentang kesediaan untuk membangun/memasang dispenser BBG di SPBU.   Substansi yang diatur yaitu pembangunan SPBU diharapkan juga membangun dispenser untuk BBG.
  13. Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 28 tahun 1990 Mengatur tentang penggunaan bahan bakar gas dan elpiji untuk angkutan umum dan taksi
  14. Keputusan Dinas Perhubungan DKI Jakarta No. 1648/18.11-3219 tanggal 26 Februari 1990 Merupakan tindak lanjut keputusan Gubernur DKI Jakarta mengenai kewajiban penggunaan BBG/Elpiji untuk taksi.   Substansi yang diatur/diwajibkan semua perusahaan taksi harus memiliki setidaknya 20% dari total armada menggunakan BBG/Elpiji
  15. Surat Gubernur DKI Jakarta No. 2605/1.824.133/1994 tanggal 16 Agustus 1994 Memberikan perintah agar setiap pembangunan SPBU harus memprioritaskan fasilitas dispenser BBG.
  16. Keputusan Menteri Kelestarian Lingkungan Hidup No. 15 tahun 1996 Mengatur mengenai Program Langit Biru atau Blue Sky Program Program penggunaan gas untuk kendaraan bemotor merupakan bagian dari program langit biru.

Para Pejabat, mari bersungguh-sungguh .... 
Kebijakan konversi gas untuk transportasi ini memiliki dimensi pada pertumbuhan ekonomi.

Menteri Koordinator Bidang Ekonomi

Menteri Koordinator Bidang Ekonomi bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan konversi gas sektor transportasi ini.   Kewenangannyalah untuk mengkoordinasikan baik teknis maupun non teknis sehingga konversi ini berjalan efektif sesuai dengan target dan perencanaan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan.  Diduga, upaya ini merupakan kesengajaan atau setidak-tidaknya praktik pembiaran sehingga program yang mampu mendatangkan economic benefit hingga Rp 2.124 T (Ref:  Cost Benefit Analysis Fuel Economy in Indonesia, UNEP-USEPA-KLH) bagi bangsa Indonesia ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
 
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Menteri ESDM bertanggungjawab atas ketersediaan pasokan bahan bakar secara nasional termasuk pasokan BBG.  Sebagai Negara penghasil gas terbesar di dunia, adalah tidak sulit bagi Menteri ESDM untuk memimpin pengadaan demi ketersediaan BBG untuk sector transportasi.  Dengan demikian, kegagalan konversi BBG sector transportasi ini diduga buah kesengajaan dari Menteri ESDM atau setidak-tidaknya praktik pembiaran sehingga kekacauan dan un-leading program penyediaan BBG dibiarkan berjalan tidak efektif.

Menteri Perhubungan

Menteri Perhubungan bertanggungjawab atas konversi kendaraan – baik berbahan bakar bensin maupun solar – terutama angkutan umum untuk menggunakan BBG.  Faktanya, Menteri ini melakukan kesengajaan dan/atau setidak-tidaknya pembiaran sehingga berbagai jenis angkutan umum yang mengajukan izin trayek dan/atau mengajukan perpanjangan izin trayek tidak diarahkan untuk melakukan konversi BBG sebagai prasyarat.

Menteri Perindustrian

Menteri Perindustrian.  Menteri ini bertanggungjawab atas adopsi teknologi kendaraan bermotor yang sesuai dengan amanat peraturan perundangan.  Artinya ketika ada regulasi konversi BBG untuk sector transportasi maka Menteri Perindustrian harus menindaklanjutinya dengan menciptakan iklim industry yang mendorong produsen kendaraan bermotor memproduksi kendaraan BBG.  Ketika hal ini tidak terjadi, maka itu adalah kesengajaan dan atau setidak-tidaknya pembiaran agar industry kendaraan BBG tidak tumbuh dan tidak memproduksi kendaraan BBG.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero)

Dirut Pertamina.  Dirut Pertamina adalah salah satu yang bertanggung jawab atas pasokan BBG termasuk untuk sector transportasi, sejak dari hulu explorasi/exploitasi sumur gas hingga hilir berupa transmisi pengiriman gas dan distribusi/retail gas.  Tidak berkembangnya pasokan BBG sector transportasi adalah buah dari kesengajaan atau setidak-tidaknya pembiaran oleh Dirut Pertamina sehingga berakibat pada sulitnya distribusi gas yang dibutuhkan oleh sector transportasi yang telah dikonversi ke BBG.  Pun, penyertaan Pemerintah melalui Pertamina sebesar Rp 2,6 T pada 2012 untuk pengembangan infrastruktur BBG sector transportasi di Jakarta, telah membuktikan adanya unsur kesengajaan/pembiaran yang berdampak pada tidak tersedianya pasokan BBG sector transportasi.  Faktanya, SPBG di Jakarta belum bertambah sehingga menghambat masyarakat yang ingin mengkonversi BBG.

Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara

Dirut PGN juga memiliki kemiripan sikap dengan Dirut Pertamina, yaitu tidak bertanggung jawab atas pasokan BBG untuk sector transportasi terutama di level distribusi melalui pemipaan dan retail melalui SPBG.  Keputusan sepihak berupa menaikkan tool fee pipa gas PGN menjadi Rp 700,- per LSP dari nilai sebelumnya sebesar Rp 60,- per LSP telah menyebabkan terganggunya ketersediaan pasokan BBG sector transportasi.  Juga keputusan pengenaan quota minimal dan quata maksimal atas distribus BBG sector transportasi menyebabkan kesulitan bagi SPBG dalam melakukan retail untuk sector transportasi.  PGN menganakan penalty jika BBG yang terserap oleh SPBG di bawah quota minimal  dan atau di atas quota maksimal.  Tentu saja itu bagian dari konspirasi untuk menggagalkan konversi BBG sector transportasi.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta

Gubernur Jokowi memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan UU No 32/2009, UU No 22/2001 berikut peraturan pelaksana di bawahnya termasuk PP No 141/199, SK Gubernur DKI Jakarta No.2508/-1.824.132/1993, No. 28 tahun 1990, No. 2605/1.824.133/1994 SK Menteri LH No. 15 tahun 1996, PERDA DKI Jakarta No 2/2005 dan PERGUB DKI Jakarta No. 141/2007.  Pelaksanaan peraturan perundangan di atas adalah jalan menuju diterapkannya konversi BBG sector transportasi secara efektif dan efisien.  Gubernur Jokowi sengaja tidak menjalankan amanat peraturan perundangan tersebut terbukti dengan sengaja tidak mengkonversi kendaraan operasional PEMDA untuk menggunakan BBG.  Di samping itu, Gubernur juga meloloskan permintaan izin trayek baru dan atau perpanjangan izin trayek meskipun angkutan umum tersebut tidak dikonversi ke BBG.  Tentu ini bukan sebuah ketidaksengajaan, melainkan kesengajaan dan atau setidak-tidaknya pembiaran demi tidak berjalannya amanat pemanfaatan BBG untuk sector transportasi. 

Drama The Saboteurs

Gubernur berdalih bahwa pasokan BBG tidak mencukupi, faktanya pasokan BBG untuk transportasi adalah 35 MMFCSD namun hanya terserap 5 MMFCSD.  Gubernur tidak melakukan pentaatan atas keberadaan SPBU di Jakarta yang menurut ketentuan Gubernur mereka diwajibkan menyediakan dispenser SPBG.  Menteri ESDM mengatakan telah memberikan quota yang memadai untuk mencukup kebutuhan sector transportasi, namun faktanya tidak melakukan control terhadap Pertamina, PGN dan berbagai perusahaan retailer (SPBG) yang tidak menyalurkan gasnya untuk sector transportasi.  Pengusaha SPBG tidak berani mengembangkan SPBG baru karena demand dari kendaraan bermotor yang menggunakan BBG belum tumbuh.  Demand ini tidak tumbuh karena Menteri Perhubungan dan Gubernur DKI Jakarta (misalnya) tidak melakukan pentaatan sehingga angkutan umum dan kendaraan operasional PEMDA DKI Jakarta tidak dikonversi menggunakan BBG, selain Menteri Perindustrian yang tidak mewajibkan industri otomotif untuk mengembangkan kendaraan BBG.

Akhirnya di antara mereka saling lempar tanggung jawab di arena yang tidak saling bertemu sehingga tidak terjadi klarifikasi yang berujung solusi dan seolah disengaja mengingat ada agenda besar berupa sabotase untuk menggagalkan pemanfaatan BBG untuk sector transportasi.

Jakarta, 5 Mei 2014


Manfaat Economi Pemanfaatan Gas untuk Transportasi

Ahmad Safrudin - KPBB

Source: Various Source, processed by KPBB
Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan konsumsi energi di sektor transportasi darat di Indonesia mencapai sekitar 5,7% per tahun[1]. Peningkatan kebutuhan ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk.   Pada tahun 2010, hampir semua energi yang dikonsumsi oleh sektor transportasi darat adalah BBM diikuti oleh Gas dan Listrik.   Dari jenis BBM, konsumsi Bensin (Premium, Pertamax dan Pertamax Plus) merupakan yang terbesar (61,66%) diikuti oleh Solar (37,5%) dan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang mencakup Bio-diesel, Bio-ethanol (0,84%)[2].  Sementara untuk BBM bersubsidi (Premium dan Solar), konsumsi Premium merupakan yang terbesar (61,29%) diikuti oleh Solar (37,85%), sisanya BBN (0,86%)[3].

Pemanfaatan BBG untuk transportasi telah dimulai pada 1987 dengan total konsumsi 204 KLSP (Kilo-liter setara Premium)[4]. Pada 1996 Pemerintah mencanangkan Program Langit Biru, dan pada 1998 pemakaian CNG dan LGV mencapai puncaknya yaitu 55.637 KLSP[5].  Jumlah SPBG nasional pada tahun tersebut sebanyak 30 unit yang tersebar di Medan, Palembang, Jakarta, Depok, Surabaya dan Denpasar[6].

Namun keberhasilan sebagai akibat dari pencanangan Pemerintah pada 1996 tersebut tidak dapat berlangsung lama.  Beberapa faktor seperti harga BBG, kelangsungan pasokan gas, waktu pengisian yang relatif lama, ketersediaan SPBG, kualitas BBG, jasa inspeksi dan perawatan, ketersediaan suku cadang dan fasilitas Kredit untuk Converter Kit dll., telah menyebabkan penurunuan permintaan hingga sekitar 4.854 KLSP  pada 2007[7].  Di samping faktor-faktor di atas, ketidak-jelasan leading institution yang bertanggung-jawab penuh terhadap permasalahan di atas juga sangat berperan dalam mempengaruhi efektivitas pemanfaatan gas di sektor transportasi.

Kendaraan yang Diwajibkan Menggunakan BBG di DKI Jakarta
(Perda No 2/2005)
 
Peraturan Menteri ESDM No. 19/2010 dan Keputusan Menteri ESDM No. 2932K/12/MEM/2010 diharapkan menjadi jawaban awal terhadap kendala pasokan dan harga yang selama ini menghambat pemanfaatan BBG untuk transportasi.  Kedua kebijakan ini juga mendukung dan sinergi dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 141/2007 tentang “Pemanfaatan Bahan Bakar Gas untuk Transportasi” sebagai implementasi dari Perda No. 2/2005 tentang “Pengendalian Pencemaran Udara.” Dalam Perda No 2/2005 semua angkutan umum dan kendaraan oprasional Pemda DKI Jakarta yang jumlahnya diperkirakan mendekati angka 100.000 unit  (lihat Tabel) wajib menggunakan BBG terhitung mulai 25 Oktober 2012.

Saat ini jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) nasional yang beroperasi sebanyak 21 unit - 16 unit di Jakarta (masing-masing 8 unit untuk CNG dan LGV), 1 unit di Palembang (CNG) dan 4 unit di Surabaya (CNG).  Jika satu unit SPBG mampu menyediakan 20 KLSP/hari (CNG) dan 9 KLSP/hari (LGV), maka SPBG di Jakarta saat ini hanya mampu memasok gas sebanyak 160 KLSP/hari (CNG) dan 72 KLSP/hari (LGV).  Artinya, jumlah SPBG di Jakarta masih belum mampu melayani permintaan BBG apabila PERGUB No. 141/2007 diterapkan. 

Untuk melayani sekitar 100.000 unit kendaraan dengan variasi total konsumsi per hari mulai dari 10 LSP (Bajaj), 30 LSP (Taksi, Mikrolet dll), 90 LSP (Bus Sedang) dan 200  LSP (Bus Besar), maka di Jakarta perlu tersedia pasokan BBG sebanyak 3.778 KLSP/hari yang dilayani melalui 261 unit pengisian bahan bakar (dispenser).  Dengan asumsi operasional kendaraan adalah 320 hari/tahun, dan dengan referensi harga MOPS RON-92, PPN (10%), Pajak BBM (5%)[8], maka subsitusi BBM oleh BBG sebesar 3.778 KLSP/hari diperkirakan akan mengurangi beban subsidi sebesar Rp 2,1 triliun/tahun.

Di samping lebih hemat dari sisi biaya dibandingkan dengan BBM, penggunaan BBG juga dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 20-30%, CO sebesar 70-90%, dan NOx sebesar 75-95%)[9].  Selain itu,  subsitusi BBM oleh BBG juga diharapkan dapat menggulirkan roda perekonomian nasional melalui penciptaan peluang pengembangan usaha baru yang terkait gas (di bidang produk, jasa teknis dan keuangan/pembiayaan).

Jakarta, 5 Mei 2014



[1] Direktorat Jenderal MIGAS, 2010
[2] Pertamina, 2008 (Diolah)
[3] Pertamina, Direktorat Jenderal MIGAS, 2008 (Diolah)
[4] Pertamina, 2008
[5] Pertamina, 2008
[6] Pertamina, 2011
[7] Pertamina, 2008
[8] Fiscal Policy Agency – Ministry of Finance, 2010
[9] LEMIGAS, Technical Evaluation of LGV Performance, Report, 2006



Pencemaran Udara di DKI Jakarta
Pencemaran udara telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat terutama mereka yang tinggal di kawasan perkotaan dengan kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi.  WHO merelease laporan terbaru bahwa bahwa pada 2012 diestimasikan seperdelapan kematian umat manusia di seluruh dunia atau sekitar 7 juta jiwa per tahun meninggal akibat terpapar pencemaran udara[1].  Dari jumlah itu, 60.000 jiwa terjadi (meninggal) di Indonesia. 

Di Jakarta sendiri 57,8% warganya menderita sakit/penyakit akibat terpapar pencemaran udara[2] (periksa Box 1), sehingga harus membayar biaya berobat mencapai Rp 38,5 Triliun.  Kini, pencemaran udara menjadi resiko tunggal terbesar di dunia yang mengancam kesehatan lingkungan.

Selain menyebabkan pencemaran udara, tingginya emisi dari berbagai aktivitas manusia juga menyebabkan peningkatan Gas Rumah Kaca terutama CO2, CH4, N2O, O3 yang berdampak pada perubahan temperature global dan mendorong terjadinya pemanasan global (global warming).  Hal ini memicu peningkatan intensitas bencana baik bencana alam (banjir, badai, tanah longsor, peningkatan permukaan air laut dll) maupun penyakit seperti meluasnya kawasan endemic malaria.

Jakarta, 5 Mei 2014



[1] News release WHO/06, 25 March 2014
[2] CBA Fuel Economy Study, UNEP-USEPA-KLH-KPBB, 2012




Mengapa terjadi kegagalan dalam konversi BBG untuk sector transportasi?  Patut diduga ada sabotase yang dilakukan oleh pejabat yang memegang amanat untuk menjalankan mandat peraturan perundangan tentang pemanfaatan BBG untuk sector transportasi.   Secara logika, adalah mudah melakukan konversi BBG sector transportasi ini mengingat Indonesia termasuk dalam kategori Negara yang memiliki sumber bahan bakar gas yang terbesar di dunia, di samping berbagai peraturan dan perundangan telah disusun dan disahkan guna memuluskan implementasi pemanfaatan gas sector transportasi.  Pun berbagai program tepat guna pernah disusun sejak 1987. 

Namun kemudahan-kemudahan ini tidak mendorong pejabat-pejabat yang terkait melaksanakan amanat peraturan perundangan, melainkan melakukan pembiaran sehingga peraturan perundangan tidak berjalan dan berakibat pada kegagalan pemanfaatan/konversi BBG untuk sector transportasi.  Pejabat-pejabat tersebutlah yang diduga melakukan sabotase di balik konspirasi menggagalkan perintah peraturan perundangan tentang pemanfaatan BBG untuk transportasi. 

Pada hal ada 4 (empat) manfaat konversi BBG sector transportasi ini yaitu (1) Diversifikasi energy, (2) Pengurangan beban Negara atas penyediaan dana “subsidi BBM”, (3) Menciptakan lapangan kerja baru di bidang pengadaan pasokan BBG dan perbengkelan kendaraan BBG, (4) Menurunkan pencemaran udara yang bersumber dari kendaraan bermotor.

Peraturan Perundangan tentang BBG
  1. UU  No 22/2001 tentang MIGAS 
  2. UU No 30/2007 tentang Energi
  3. UU No 32/2009 tentang PPLH
  4. Peraturan Presiden No 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
  5. Instruksi Presiden No 10/2005 tentang Efisiensi Energi
  6. Keputusan Menteri Energi No 0031/2005 tentang SOP Efisiensi Energi
  7. Permen ESDM No 19/2010 tentang Pemanfaatan Gas untuk Sektor Transportasi
  8. Perda No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Pasal 10)
  9. Peraturan Gubernur No 141/2007 tentang Pemanfaatan Gas untuk Transportasi dan Kendaraan Operasional Pemda
  10. SK Kepala Dinas Pertambangan Provinsi DKI Jakarta tentang Ketentuan Pembangunan SPBG pada SPBU
  11. UU No 22/2011 tentang APBN 2012 (Pembatasan BBM Bersubsidi).
  12. Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.2508/-1.824.132/1993 tanggal 03 Agustus 1993Mengatur tentang kesediaan untuk membangun/memasang dispenser BBG di SPBU.   Substansi yang diatur yaitu pembangunan SPBU diharapkan juga membangun dispenser untuk BBG.
  13. Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 28 tahun 1990 Mengatur tentang penggunaan bahan bakar gas dan elpiji untuk angkutan umum dan taksi
  14. Keputusan Dinas Perhubungan DKI Jakarta No. 1648/18.11-3219 tanggal 26 Februari 1990 Merupakan tindak lanjut keputusan Gubernur DKI Jakarta mengenai kewajiban penggunaan BBG/Elpiji untuk taksi.   Substansi yang diatur/diwajibkan semua perusahaan taksi harus memiliki setidaknya 20% dari total armada menggunakan BBG/Elpiji
  15. Surat Gubernur DKI Jakarta No. 2605/1.824.133/1994 tanggal 16 Agustus 1994 Memberikan perintah agar setiap pembangunan SPBU harus memprioritaskan fasilitas dispenser BBG.
  16. Keputusan Menteri Kelestarian Lingkungan Hidup No. 15 tahun 1996 Mengatur mengenai Program Langit Biru atau Blue Sky Program Program penggunaan gas untuk kendaraan bemotor merupakan bagian dari program langit biru.

Para Pejabat, mari bersungguh-sungguh .... 
Kebijakan konversi gas untuk transportasi ini memiliki dimensi pada pertumbuhan ekonomi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Menteri ESDM bertanggungjawab atas ketersediaan pasokan bahan bakar secara nasional termasuk pasokan BBG.  Sebagai Negara penghasil gas terbesar di dunia, adalah tidak sulit bagi Menteri ESDM untuk memimpin pengadaan demi ketersediaan BBG untuk sector transportasi.  Dengan demikian, kegagalan konversi BBG sector transportasi ini tiada lain buah kesengajaan dari Menteri ESDM atau setidak-tidaknya praktik pembiaran sehingga kekacauan dan un-leading program penyediaan BBG dibiarkan berjalan tidak efektif.

Menteri Perhubungan

Menteri Perhubungan bertanggungjawab atas konversi kendaraan – baik berbahan bakar bensin maupun solar – terutama angkutan umum untuk menggunakan BBG.  Faktanya, Menteri ini melakukan kesengajaan dan/atau setidak-tidaknya pembiaran sehingga berbagai jenis angkutan umum yang mengajukan izin trayek dan/atau mengajukan perpanjangan izin trayek tidak diarahkan untuk melakukan konversi BBG sebagai prasyarat.

Menteri Perindustrian

Menteri Perindustrian.  Menteri ini bertanggungjawab atas adopsi teknologi kendaraan bermotor yang sesuai dengan amanat peraturan perundangan.  Artinya ketika ada regulasi konversi BBG untuk sector transportasi maka Menteri Perindustrian harus menindaklanjutinya dengan menciptakan iklim industry yang mendorong produsen kendaraan bermotor memproduksi kendaraan BBG.  Ketika hal ini tidak terjadi, maka itu adalah kesengajaan dan atau setidak-tidaknya pembiaran agar industry kendaraan BBG tidak tumbuh dan tidak memproduksi kendaraan BBG.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero)

Dirut Pertamina.  Dirut Pertamina adalah salah satu yang bertanggung jawab atas pasokan BBG termasuk untuk sector transportasi, sejak dari hulu explorasi/exploitasi sumur gas hingga hilir berupa transmisi pengiriman gas dan distribusi/retail gas.  Tidak berkembangnya pasokan BBG sector transportasi adalah buah dari kesengajaan atau setidak-tidaknya pembiaran oleh Dirut Pertamina sehingga berakibat pada sulitnya distribusi gas yang dibutuhkan oleh sector transportasi yang telah dikonversi ke BBG.  Pun, penyertaan Pemerintah melalui Pertamina sebesar Rp 2,1 T pada 2012 untuk pengembangan infrastruktur BBG sector transportasi di Jakarta, telah membuktikan adanya unsur kesengajaan/pembiaran yang berdampak pada tidak tersedianya pasokan BBG sector transportasi.  Faktanya, SPBG di Jakarta belum bertambah sehingga menghambat masyarakat yang ingin mengkonversi BBG.

Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara

Dirut PGN juga memiliki kemiripan sikap dengan Dirut Pertamina, yaitu tidak bertanggung jawab atas pasokan BBG untuk sector transportasi terutama di level distribusi melalui pemipaan dan retail melalui SPBG.  Keputusan sepihak berupa menaikkan tool fee pipa gas PGN menjadi Rp 700,- per LSP dari nilai sebelumnya sebesar Rp 60,- per LSP telah menyebabkan terganggunya ketersediaan pasokan BBG sector transportasi.  Juga keputusan pengenaan quota minimal dan quata maksimal atas distribus BBG sector transportasi menyebabkan kesulitan bagi SPBG dalam melakukan retail untuk sector transportasi.  PGN menganakan penalty jika BBG yang terserap oleh SPBG di bawah quota minimal  dan atau di atas quota maksimal.  Tentu saja itu bagian dari konspirasi untuk menggagalkan konversi BBG sector transportasi.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta

Gubernur Jokowi memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan UU No 32/2009, UU No 22/2001 berikut peraturan pelaksana di bawahnya termasuk PP No 141/199, SK Gubernur DKI Jakarta No.2508/-1.824.132/1993, No. 28 tahun 1990, No. 2605/1.824.133/1994 SK Menteri LH No. 15 tahun 1996, PERDA DKI Jakarta No 2/2005 dan PERGUB DKI Jakarta No. 141/2007.  Pelaksanaan peraturan perundangan di atas adalah jalan menuju diterapkannya konversi BBG sector transportasi secara efektif dan efisien.  Gubernur Jokowi sengaja tidak menjalankan amanat peraturan perundangan tersebut terbukti dengan sengaja tidak mengkonversi kendaraan operasional PEMDA untuk menggunakan BBG.  Di samping itu, Gubernur juga meloloskan permintaan izin trayek baru dan atau perpanjangan izin trayek meskipun angkutan umum tersebut tidak dikonversi ke BBG.  Tentu ini bukan sebuah ketidaksengajaan, melainkan kesengajaan dan atau setidak-tidaknya pembiaran demi tidak berjalannya amanat pemanfaatan BBG untuk sector transportasi. 

Drama The Saboteurs

Gubernur berdalih bahwa pasokan BBG tidak mencukupi, faktanya pasokan BBG untuk transportasi adalah 35 MMFCSD namun hanya terserap 5 MMFCSD.  Gubernur tidak melakukan pentaatan atas keberadaan SPBU di Jakarta yang menurut ketentuan Gubernur mereka diwajibkan menyediakan dispenser SPBG.  Menteri ESDM mengatakan telah memberikan quota yang memadai untuk mencukup kebutuhan sector transportasi, namun faktanya tidak melakukan control terhadap Pertamina, PGN dan berbagai perusahaan retailer (SPBG) yang tidak menyalurkan gasnya untuk sector transportasi.  Pengusaha SPBG tidak berani mengembangkan SPBG baru karena demand dari kendaraan bermotor yang menggunakan BBG belum tumbuh.  Demand ini tidak tumbuh karena Menteri Perhubungan dan Gubernur DKI Jakarta (misalnya) tidak melakukan pentaatan sehingga angkutan umum dan kendaraan operasional PEMDA DKI Jakarta tidak dikonversi menggunakan BBG, selain Menteri Perindustrian yang tidak mewajibkan industri otomotif untuk mengembangkan kendaraan BBG.

Akhirnya di antara mereka saling lempar tanggung jawab di arena yang tidak saling bertemu sehingga tidak terjadi klarifikasi yang berujung solusi dan seolah disengaja mengingat ada agenda besar berupa sabotase untuk menggagalkan pemanfaatan BBG untuk sector transportasi.

Jakarta, 5 Mei 2014


Manfaat Economi Pemanfaatan Gas untuk Transportasi

Ahmad Safrudin - KPBB

Source: Various Source, processed by KPBB
Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan konsumsi energi di sektor transportasi darat di Indonesia mencapai sekitar 5,7% per tahun[1]. Peningkatan kebutuhan ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk.   Pada tahun 2010, hampir semua energi yang dikonsumsi oleh sektor transportasi darat adalah BBM diikuti oleh Gas dan Listrik.   Dari jenis BBM, konsumsi Bensin (Premium, Pertamax dan Pertamax Plus) merupakan yang terbesar (61,66%) diikuti oleh Solar (37,5%) dan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang mencakup Bio-diesel, Bio-ethanol (0,84%)[2].  Sementara untuk BBM bersubsidi (Premium dan Solar), konsumsi Premium merupakan yang terbesar (61,29%) diikuti oleh Solar (37,85%), sisanya BBN (0,86%)[3].

Pemanfaatan BBG untuk transportasi telah dimulai pada 1987 dengan total konsumsi 204 KLSP (Kilo-liter setara Premium)[4]. Pada 1996 Pemerintah mencanangkan Program Langit Biru, dan pada 1998 pemakaian CNG dan LGV mencapai puncaknya yaitu 55.637 KLSP[5].  Jumlah SPBG nasional pada tahun tersebut sebanyak 30 unit yang tersebar di Medan, Palembang, Jakarta, Depok, Surabaya dan Denpasar[6].

Namun keberhasilan sebagai akibat dari pencanangan Pemerintah pada 1996 tersebut tidak dapat berlangsung lama.  Beberapa faktor seperti harga BBG, kelangsungan pasokan gas, waktu pengisian yang relatif lama, ketersediaan SPBG, kualitas BBG, jasa inspeksi dan perawatan, ketersediaan suku cadang dan fasilitas Kredit untuk Converter Kit dll., telah menyebabkan penurunuan permintaan hingga sekitar 4.854 KLSP  pada 2007[7].  Di samping faktor-faktor di atas, ketidak-jelasan leading institution yang bertanggung-jawab penuh terhadap permasalahan di atas juga sangat berperan dalam mempengaruhi efektivitas pemanfaatan gas di sektor transportasi.

Kendaraan yang Diwajibkan Menggunakan BBG di DKI Jakarta
(Perda No 2/2005)
 
Peraturan Menteri ESDM No. 19/2010 dan Keputusan Menteri ESDM No. 2932K/12/MEM/2010 diharapkan menjadi jawaban awal terhadap kendala pasokan dan harga yang selama ini menghambat pemanfaatan BBG untuk transportasi.  Kedua kebijakan ini juga mendukung dan sinergi dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 141/2007 tentang “Pemanfaatan Bahan Bakar Gas untuk Transportasi” sebagai implementasi dari Perda No. 2/2005 tentang “Pengendalian Pencemaran Udara.” Dalam Perda No 2/2005 semua angkutan umum dan kendaraan oprasional Pemda DKI Jakarta yang jumlahnya diperkirakan mendekati angka 100.000 unit  (lihat Tabel) wajib menggunakan BBG terhitung mulai 25 Oktober 2012.

Saat ini jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) nasional yang beroperasi sebanyak 21 unit - 16 unit di Jakarta (masing-masing 8 unit untuk CNG dan LGV), 1 unit di Palembang (CNG) dan 4 unit di Surabaya (CNG).  Jika satu unit SPBG mampu menyediakan 20 KLSP/hari (CNG) dan 9 KLSP/hari (LGV), maka SPBG di Jakarta saat ini hanya mampu memasok gas sebanyak 160 KLSP/hari (CNG) dan 72 KLSP/hari (LGV).  Artinya, jumlah SPBG di Jakarta masih belum mampu melayani permintaan BBG apabila PERGUB No. 141/2007 diterapkan. 

Untuk melayani sekitar 100.000 unit kendaraan dengan variasi total konsumsi per hari mulai dari 10 LSP (Bajaj), 30 LSP (Taksi, Mikrolet dll), 90 LSP (Bus Sedang) dan 200  LSP (Bus Besar), maka di Jakarta perlu tersedia pasokan BBG sebanyak 3.778 KLSP/hari yang dilayani melalui 261 unit pengisian bahan bakar (dispenser).  Dengan asumsi operasional kendaraan adalah 320 hari/tahun, dan dengan referensi harga MOPS RON-92, PPN (10%), Pajak BBM (5%)[8], maka subsitusi BBM oleh BBG sebesar 3.778 KLSP/hari diperkirakan akan mengurangi beban subsidi sebesar Rp 2,1 triliun/tahun.

Di samping lebih hemat dari sisi biaya dibandingkan dengan BBM, penggunaan BBG juga dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 20-30%, CO sebesar 70-90%, dan NOx sebesar 75-95%)[9].  Selain itu,  subsitusi BBM oleh BBG juga diharapkan dapat menggulirkan roda perekonomian nasional melalui penciptaan peluang pengembangan usaha baru yang terkait gas (di bidang produk, jasa teknis dan keuangan/pembiayaan).

Jakarta, 5 Mei 2014



[1] Direktorat Jenderal MIGAS, 2010
[2] Pertamina, 2008 (Diolah)
[3] Pertamina, Direktorat Jenderal MIGAS, 2008 (Diolah)
[4] Pertamina, 2008
[5] Pertamina, 2008
[6] Pertamina, 2011
[7] Pertamina, 2008
[8] Fiscal Policy Agency – Ministry of Finance, 2010
[9] LEMIGAS, Technical Evaluation of LGV Performance, Report, 2006



Pencemaran Udara di DKI Jakarta
Pencemaran udara telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat terutama mereka yang tinggal di kawasan perkotaan dengan kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi.  WHO merelease laporan terbaru bahwa bahwa pada 2012 diestimasikan seperdelapan kematian umat manusia di seluruh dunia atau sekitar 7 juta jiwa per tahun meninggal akibat terpapar pencemaran udara[1].  Dari jumlah itu, 60.000 jiwa terjadi (meninggal) di Indonesia. 

Di Jakarta sendiri 57,8% warganya menderita sakit/penyakit akibat terpapar pencemaran udara[2] (periksa Box 1), sehingga harus membayar biaya berobat mencapai Rp 38,5 Triliun.  Kini, pencemaran udara menjadi resiko tunggal terbesar di dunia yang mengancam kesehatan lingkungan.

Selain menyebabkan pencemaran udara, tingginya emisi dari berbagai aktivitas manusia juga menyebabkan peningkatan Gas Rumah Kaca terutama CO2, CH4, N2O, O3 yang berdampak pada perubahan temperature global dan mendorong terjadinya pemanasan global (global warming).  Hal ini memicu peningkatan intensitas bencana baik bencana alam (banjir, badai, tanah longsor, peningkatan permukaan air laut dll) maupun penyakit seperti meluasnya kawasan endemic malaria.

Jakarta, 5 Mei 2014



[1] News release WHO/06, 25 March 2014
[2] CBA Fuel Economy Study, UNEP-USEPA-KLH-KPBB, 2012