Selasa, 03 Maret 2020



Zona Merah Pencemaran Udara
Euro 4 Standard Solution

  • Clean Air
  • Climate
  • National Economic Growth
Pencemaran udara telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat terutama mereka yang tinggal di kawasan perkotaan dengan kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi.  WHO merelease laporan terbaru bahwa bahwa pada 2012 diestimasikan seperdelapan kematian umat manusia di seluruh dunia atau sekitar 7 juta jiwa per tahun meninggal akibat terpapar pencemaran udara[1].  Dari jumlah itu, 60.000 jiwa terjadi (meninggal) di Indonesia. 
Di Jakarta sendiri 57,8% warganya menderita sakit/penyakit akibat terpapar pencemaran udara[2] (periksa Box 1), sehingga harus membayar biaya berobat mencapai Rp 38,5 Triliun.  Kini, pencemaran udara menjadi resiko tunggal terbesar di dunia yang mengancam kesehatan lingkungan.






Selain menyebabkan pencemaran udara, tingginya emisi dari berbagai aktivitas manusia juga menyebabkan peningkatan Gas Rumah Kaca terutama CO2, CH4, N2O, O3 yang berdampak pada perubahan temperature global dan mendorong terjadinya pemanasan global (global warming).  Hal ini memicu peningkatan intensitas bencana baik bencana alam (banjir, badai, tanah longsor, peningkatan permukaan air laut dll) maupun penyakit seperti meluasnya kawasan endemic malaria.

Namun demikian, upaya menekan emisi relative banyak menghadapi kendala.  Ketika kita ingin menurunkan emisi, namun aktivitas manusia yang lebih banyak didukung penggunaan bahan bakar fosil menyebakan kendala ini. Peningkatan kecenderungan masyarakat menggu-nakan kendaraan bermotor sehingga meningkatkan populasi kendaraan bermotor, peningkatan konsumsi juga telah mendorong peningkatan produktivitas industri yang berdampak negatif pada peningkatan emisi dan pengurasan energi.
 
Untuk itu, kiranya perlu dirancang upaya mencegah percepatan pengurasan energi ini sebagai langkah strategis dalam upaya menurunkan emisi, dengan adopsi teknologi yang mampu menurunkan konsumsi BBM, termasuk teknologi kendaraan bermotor yang menjadi penyumbang terbesar (sekitar 70-90%) pencemaran udara di perkotaan.  Teknologi kendaraan yang mampu menurunkan konsumsi BBM maka secara otomatis akan menurunkan emisi, baik emisi yang berdampak pada pencemaran udara perkotaan maupun global green house gas.  

 
Sementara itu, Low Sulphur Fuel yaitu penyediaan BBM rendah belerang menjadi prasyarat penting bagi penerapan teknologi kendaraan rendah emisi.  Langkah ini sebagai prasyarat mengadopsi teknologi kendaraan Standard Euro 4.  Penerapan standar ini pada 2021, selain mampu menurunkan emisi juga akan mendatangkan Net Economic Benefit hingga Rp 1.970 Triliun berupa health cost, production saving dan fuel efficiency untuk periode 2016 - 2030.  Sementara percepatan penerapan standar Euro 4 mejadi 2016 akan menggandakan peningkatan Net Economic Benefit menjadi  Rp 3.973 Triliun (periode yang sama).

Selain itu, tidak dapat dimungkiri bahwa keterlambatan mengadopsi teknologi kendaraan bermotor menurunkan daya saing industri otomotif nasional di pasar regional Asia Tenggara, sebagaimana direbutnya posisi Indonesia sebagai market leader sektor otomotif ini oleh Thailand pada 2002 ketika Indonesia terlambat mengadopsi Standard Euro 2. 
Dialog intensif telah dilakukan antar stakeholder yang terkait (Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perindustrian, Badan Kebijakan Fiskal, PERTAMINA, GAIKINDO) pada kurun September – Desember 2013 dan disepakati untuk melakukan percepatan penerapan standar kendaraan yang mengacu pada Standard Euro 4 mulai 2016.  Sekalipun tertunda, kini regulasi itu telah ditetapkan oleh Meneri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 10 Maret 2017 melalui PERMEN No P.20 /MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Kendaraan Tipe Baru dan yang Sedang Diproduksi.

Kini saatnya mengawal penerapan PERMEN ini termasuk melibatkan Deputi Bidang Pencegahan Korupsi KPK, agar berjalan dengan baik dan tidak tertunda, terutama penyediaan BBM dengan kadar belerang max 50 ppm yang menjadi prasyaratnya.  Mengingat penyediaan BBM yang sarat kepentingan bisnis selama ini, maka peralihan penyediaan BBM rendah belerang ini diprediksi akan berjalan alot dan berpotensi menjadi ajang korupsi dan penyuapan sebagaimana adopsi Standard Euro 2 dahulu.  Penerapan Standard Euro 2 tertunda dari jadwal pada 2003 menjadi 2007 karena ketidak-tersediaannya bensin tanpa timbel (unleade gasoline).  Pada Maret 2010 terbongkar setelah UK-Serious Fraud Office merelease kasus suap oleh Innospec Corp yaitu perusahaan pemasok timbel (tetra ethyl lead) kepada para pejabat Pertamina dan Direktorat Jenderal MIGAS pada kurun 2003 – 2006 sehingga penyediaan bensin tanpa timbel tertunda dari jadwal, 1 Januari 2003.  Kasus ini telah diproses oleh KPK dan sebagian telah divonis pidana kurungan dan denda oleh pengadilan TIPIKOR.  Jakarta, 3 April 2017

Pengendalian Pencemaran Udara
 

Untuk pengendalina pencemaran udara yang bersumber dari sektor transportasi, bisa dilakukan dengan berbagai cara:
  1. Pengembangan bahan bakar ramah bersih dan lingkungan (Fuel Quality).  Upaya ini ditempuh dengan memperbaiki spesifikasi dan memproduksi bahan bakar yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Misalnya penggunaan bensin tak bertimbel, BBG, BBM berkadar belerang rendah, dll. 
  2. Pengembangan tekonologi rendah emisi (Vehicle Technology).  Upaya ini ditempuh dengan memperbaiki teknologi kendaraan yang lebih rendah emisinya.  Misalnya kalau 2007 yang lalu kita mengadopsi teknologi kendaraan berstandard Euro 2 maka kini perlu di-up grade menjadi standad Euro 4. 
  3. Perbaikan management lalu lintas dan transportasi (Traffic and Transport Management).  Pengelolaan lalu lintas dan transportasi yang efektif (lancer) juga akan menurunkan potensi pencemaran udara.  Misalnya agar lalu lintas tidak macet, maka perlu dibuat scenario sehingga tidak semua orang menggunakan kendaraan pribadinya dalam melakukan perjalanan, melainkan bisa dengan opsi berjalan kaki untuk jarak pendek (1 – 3 Km), menggunakan sepeda (jarak 3 – 7 Km) dan menggunakan angkutan umum masal (jarak di atas 7 Km).  Untuk menarik orang mau berjalan kaki, bersepeda dan atau menggunakan angkutan umum masal, maka fasilitas pejalan kaki diperbaiki dengan standard aman, nyaman dan terduh (dengan pepohonan peneduh), fasilitas pesepeda seperti jalur sepeda dan parkir sepeda harus disediakan,  demikian juga fasilitas angkutan umum masal juga harus disediakan dengan aman, nyaman dan aksesible.  Sementara itu, mendorong orang agar tidak menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan mobilitas di dalam kota yang relative padat kendaraan, maka perlu diberikan disincentive, seperti jalan berbayar (electronic road pricing), parkir yang lebih mahal untuk kawasan kota dengan kepadatan lalu lintas tinggi, selain penerapan pajak carbon atas BBM yang mereka gunakan. 
  4. Penetapan standard emisi (Emission Standard).  Upaya ini dilakukan dengan membuat standard emisi baik untuk emisi dari sumber pencemar seperti kendaraan bermotor, pabrik dll maupun standard emisi udara ambient (udara terbuka).  Standard ini juga harus dikaji dan direvisi setiap 5 (lima) tahun sekali.  Dalam penerapannya, maka pemerintah kota dan stakeholder terkait harus melakukan pemantauan pencemaran udara untuk tujuan early warning bagi masyarakat agar bisa terselematkan dari dampak pencemaran udara, selain dianalisa untuk tujuan perubahan kebijakan menuju peningkatan kualitas udara.  Untuk itu, diperlukan stasiun pemantau kualitas udara yang tida sedikit untuk sebuah kota.  Contohnya untuk DKI Jakarta idealnya memerlukan 26 stasiun pemantau kualitas udara yang bekerja secara real-time selama 24 jam dan 7 hari seminggu dalam merekam dan mendistribusikan data kepada masyarakat. 
  5. Penegakkan hukum (Law Enforcement).  Upaya ini dilakukan untuk mendorong masyarakat mematuhi dan menajalan regulasi yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas udara.  Misalnya kewajiban uji emisi dan perawatan mesin kendaraan, penggunaan BBM ramah lingkungan, dll.
  
Multiplier Effect PERMEN Baku Mutu Emisi Kendaraan Tipe Baru

Selain dalam rangka melindungi warga dari pencemaran dengan memperketat Standard Emisi Kendaraan, dengan permen ini kita mempunyai peluang nat'l economic benefit dalam membuka peluang pasar low emission vehicle bagi industry otomotif dan industry BBM nasional.  Thailand sudah mengadopsi Standard Euro 4/IV pd 2012 dan kini kembali ancang-ancang memperketat dengan mengadopsi Standard Euro 5/V-6/VI.  Dengan PERMEN ini akan memicu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesehatan masyarakat melalui:
  1. Menurunkan pencemaran udara dari emisi kendaraan bermotor;
  2. Merebut kembali pangsa pasar low emission vehicle Indonesia yang selama ini dicomot oleh auto-industry Thailand.  Usaha ini juga akan menumbuhkan industry pemasok suku cadang indusri otomotif dan industry BBM dalam negeri.
  3. Menghentikan persemaian empuk bagi mafioso MIGAS berdagang minyak kotor berkualitas rendah yang mengelabuhi PDB (product domestic bruto) Indonesia;
  4. Melakukan langkah nyata penurunan Gas Rumah Kaca (green house gas) sektor transportasi sebagaimana komitmen Presiden pada Paris Agreement (Desember 2015) dan sudah diratifikasi;
  5. Menurunkan beban Pemerintah dalam menyediakan pasokan BBM melalui program efisiensi BBM dengan pengetatan standard kendaraan bermotor.

Jakarta, 3 April 2017


[1] News release WHO/06, 25 March 2014
[2] CBA Fuel Economy Study, UNEP-USEPA-KLH-KPBB, 2012